Antara Gelar dan Jalan Terjal
![]() |
Gambar oleh Edwin Tan, diunduh melalui istockphoto.com |
IMM UINSA (02/09/2025) - Tak terasa masa kuliah telah berlalu dan tibalah momen yang dinanti-nanti itu: wisuda. Acara yang sangat monumental dan seringkali bikin haru para wisudawan ketika mengingat zaman perjuangan dengan teman-teman di bangku kuliah.
“Walaupun sebenarnya biasa aja sih tapi tetap ada rasa bangga karena berhasil menyelesaikan studi dalam masa 3,5 tahun,” ucap Adi Swandana, salah satu wisudawan pada hari itu”.
Namun, rasa bahagia dan syukur itu ternyata tidak berangsur lama, apalagi setelah banyak beredar berita tentang tingginya angka pengangguran seperti yang dilansir dari Liputan6.com.
Bahwasannya menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) per-Februari 2025 tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, yang di mana lulusan universitas juga turut menyumbang angka tersebut.
Berita ini tentunya berakibat muncul rasa was-was tentang masa depan yang menyelimuti perasaan wisudawan. Hal ini juga dirasakan oleh Adi yang lulus dari Fakultas Ushuluddin, “Cukup susah apalagi jurusan saya cenderung agak eksklusif prospek kerjanya,” ujarnya.
Meski begitu, Adi tidak tinggal diam. Setelah wisuda ia tetap berusaha mencari pekerjaan sebagai guru kelas maupun guru PAI (Pendidikan Agama Islam) serta ikut kursus bahasa Arab di Pare untuk menambah peluang dengan mengasah skill". Saat ini saya telah bekerja di salah satu sekolah di Surabaya sebagai guru PAI dan admin Instagram,” imbuhnya.
Meski belum sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi, Adi tetap bersyukur karena bidang yang ia tekuni pada kerjaanya saat ini masih sesuai dengan jurusannya.
“Bagi saya masih serumpun ya di guru PAI-nya, karena jurusan saya Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Aspek ‘Al-Qur’an’ sendiri masih menjadi bagian penting dalam pembelajaran PAI itu sendiri,” tambahnya.
Adi juga menaruh perhatian pada persoalan yang membuat banyak lulusan kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Ia menilai perlu adanya sinergi antara pendidikan tinggi dan dunia kerja.
“Menurut saya, ini jadi salah satu hal yang perlu diperhatikan kembali oleh Kemendikti, khususnya soal link and match antara lulusan dan dunia kerja. Kampus juga harus mulai menyusun regulasi dan kesadaran bersama agar lulusan ke depan bisa menarget pasar industri sesuai dengan kapasitas, kapabilitas, dan tentu saja linier dengan bidang studinya,” ungkapnya.
Tak hanya Adi. Seorang teman ngopinya yakni Yogaraksa Ananta, seorang mahasiswa Ilmu Politik juga merasakan hal yang sama. Sembari mengerjakan tugas akhir ia juga menyibukkan diri dengan mengasah skill.
“Sebelum wisuda saya menyibukkan diri dengan memperkuat kapasitas intelektual akademisi, skill digital dan skill bersosial," tanggapannya.
Ia juga turut membagikan rencanannya kedepan setelah lulus. Baginya, lulus menjadi sarjana bukanlah titik akhir tapi sebagai awal untuk terus mengembangkan diri.
“Setelah wisuda, saya berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusan. Saya juga terus meng-upgrade diri dalam cakrawala organisasi dan akademik agar selalu siap menghadapi dinamika perkembangan zaman dan industrialisasi,” jelas Yoga.
Yoga juga turut berpendapat mengenai realitas susahnya mencari kerja di negara Konoha, “Ini merupakan tantangan secara umum yang dihadapi oleh para calon pekerja, namun hal ini kiranya dapat diantisipasi melalui upaya refleksi kualitas diri oleh para calon pekerja. Karena masih banyak calon pekerja yang menginginkan gaji tinggi tapi tak dibarengi dengan kualitas personal, sehingga peluang kerja yang sekiranya dapat digapai meskipun gaji kurang sesuai harapan itu terbuang sia-sia karena ekspetasi tinggi calon pekerja,” ujarnya.
Kisah Adi dan Yoga mencerminkan realitas yang dihadapi banyak sarjana masa kini—antara euforia kelulusan dan tantangan dunia kerja yang tak menentu. Ijazah saja tak lagi cukup, perlu adanya juga ketekunan, kesiapan mental, dan kemampuan beradaptasi menjadi kunci bertahan di tengah kompetisi yang semakin kompleks.
Meski jalan yang mereka lalui tak selalu lurus dan mudah, semangat untuk terus belajar dan berkembang menjadikan mereka tetap tegak melangkah. Sebab, menjadi sarjana bukan hanya tentang gelar, tapi tentang bagaimana mereka bertahan dan bergerak maju dengan cara masing-masing dalam menghadapi realita.