Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyusun Balok Perkaderan Ikatan

Gambar oleh patpitchaya, diunduh melalui istockphoto.com
Penulis: Iskandar Dzulkarnain (Sekbid RPK PK IMM Ushuluddin dan Filsafat) 


Tempo hari, kami duduk-duduk di depan teras koorkom tanpa satu topik pun yang dibicarakan. Tiada niat secuil pun untuk memulai aktivitas tersebut. Akan tetapi, keadaan berubah ketika penulis menunjukkan  kepada mereka sebuah poster tentang kajian yang akan diadakan oleh tim oprec. 

Tiba-tiba seorang dari kami menanggapi poster tersebut. “Apa tujuan dan target, bagaimana konsep kajiannya, kenapa mau mengadakan kajian tersebut,” begitulah kira-kira pertanyaan yang dilemparkan ke tengah-tengah kami. Hal lain yang juga dikomentari ialah terkait simbol Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) pada poster tersebut. “Apa tujuan memframing simbol tersebut.”

Akhirnya lemparan argumentasi demi argumentasi terjadi tanpa mengasilkan satu jawaban pun yang disepakati. Di tengah-tengah perkelahian itu pun terdapat ketua umum koorkom yang juga memberikan argumen-argumen spekulatif. Karena satu pun di antara kami tidak ada yang terlibat dalam tim oprec.

Namun untungnya salah satu anggota tim oprec tiba-tiba datang di tengah-tengah kami, dan akhirnya dialah yang menjawab. Ternyata kesimpulan yang dapat diambil dari alasan di balik hendak diadakannya kajian itu ialah meliputi dua hal. 

Pertama, kajian tersebut adalah sebagai branding dan bentuk eksistensi Ikatan. Hal lain juga ialah sebagai wadah komunikasi kepada calon-calon kader. Kedua, terkait framing simbol IPM ialah karena adanya opini bahwa kader-kader IPM merasa tidak butuh lagi untuk melanjutkan di IMM. Sehingga simbol tersebut berusaha menepis opini tersebut. 

Perdebatan itu pun akhirnya selesai meski tidak memuaskan bagi beberapa pihak di antara kami. Dan akhirnya, perdebatan itu disusul dengan sayonara perpisahan satu demi satu orang-orang di antara kami, dan kembali ke penginapan masing-masing. 

Di lain waktu, di sebuah warkop, obrolan tentang “detailisasi” kegiatan perkaderan juga muncul di tengah-tengah kami. Berbeda dengan cerita di atas, obrolan yang satu ini tanpa perkelahian argumentasi, dan hanya sebatas nasihat dari senior kepada dua instruktur baru. 

Penulis yang bukan sebagai instruktur kurang memahami obrolan mereka sehingga hanya diam dan termenung saja. Akan tetapi dua peristiwa di atas membekas di pikiran penulis dan menuntut untuk segera dilepaskan. Dan akhirnya, mau tidak mau penulis harus membuka kembali halaman per halaman dari SPI (Sistem Perkaderan Ikatan). 


Lagi-lagi Kenyataan 

Cerita di atas setidaknya mengindasikan permasalahan kegiatan perkaderan di tengah-tengah kita. Sebuah permasalahan kiranya adalah representasi dari tujuan ideal yang tiada ditemukan di permukaan. Setiap diksi masalah menunjukkan bahwa idealita-idealita tidak tercapai dan sangat jauh dari kenyataan. 

Dalam konteks perkaderan di Ikatan, masalah perkaderan adalah bentuk-bentuk realitas yang menyimpang dari “naskah suci” sistem perkaderan, sebut saja misal SPI. Dan, salah satu masalah yang kerap ramai dibincangkan ialah dunia instruktur. 

PC IMM Kota Surabaya pernah merilis buku Catatan Perkaderan Ikatan (2024) yang memuat tulisan-tulisan kader-kader IMM Kota Surabaya. Salah satu judul tulisan yang tertuang ialah “Instruktur: Bukan Hanya Buruh Konseptor Perkaderan.” 

Tulisan tersebut mengomentari budaya instruktur yang hanya sebagai “pembantu” pengonsepan perkaderan belaka yang telah membudaya dari generasi ke generasi. Padahal menurutnya urusan pengonsepan perkaderan seharusnya merupakan kerja elaborasi antara pimpinan dan instruktur. Bukan tugas instruktur semata. 

Selanjutnya, masalah yang juga krusial ialah evaluasi perkaderan. Pengalaman hingga kini, menunjukkan bahwa pelaksanaan evaluasi perkaderan hanya terbatas pada lingkup perkaderan formal. Padahal di dalam SPI tertulis bahwa:

“Setiap bentuk dan jenjang perkaderan disertai dengan evaluasi perkaderan dan pelaksanaan kegiatan.”

Konsisten dengan statement di atas, bahwa pelaksanaan evaluasi perkaderan menyasar pada seluruh kegiatan perkaderan baik formal maupun informal. Maka dari sini, tidak ada bedanya kegiatan perkaderan formal ataupun informal. Karena semua itu tetep memerlukan penilaian evaluatif. 

Adapun cerita di awal tentang perkelahian kami terkait konsep dan tujuan kajian tim oprec adalah salah satu representasi dari permasalahan evaluasi perkaderan dewasa ini. 

Evaluasi perkaderan sangat penting melihat kegiatan perkaderan adalah salah satu bentuk proses regenerasi untuk menilai sejauh mana hasil yang telah dicapai. Evaluasi juga mencegah kegiatan perkaderan yang hanya pok mari. Yaitu hanya sebatas menggugurkan kewajiban kepemimpinan selama satu periode. 

Mungkin, kita akan bertanya, bagaimana dengan kegiatan perkaderan kultural layaknya nongki bareng. Bagaimana kita akan menentukan variabel pencapaiannya? Jawabannya tetap, bahwa setiap kegiatan perkaderan apapun harus memiliki penilaian evaluatif. 

Lalu bagaimana caranya? Kita kembali pada SPI. Di dalam SPI bentuk perkaderan ada tiga macam: Perkaderan Utama, Perkaderan Khusus, dan Perkaderan Pendukung. Di mana letak perkaderan kultural? Hemat penulis ia termasuk pada perkaderan pendukung. 

Definisi perkaderan pendukung sejatinya ialah perkaderan yang berfokus pada peningkatan potensi kader. Tujuannya ialah sebagai penunjang dang pendukung perkaderan utama (lihat SPI, 2022)

Alasan penulis memasukkan perkaderan kultural ke dalam kategori perkaderan pendukung ialah karena setiap kegiatan kultural setidaknya tujuannya ialah untuk menjaga komunikasi dan solidaritas para kader. Atau juga bisa menjadi pelengkap kekurangan-kekurangan dari perkaderan utama atau formal. 

Kembali pada persoalan penilaian evaluatif pada perkaderan kultural, maka seharusnya telah dirancang dari awal tujuan dan target dari kegiatan perkaderan kultural tersebut. Lalu tentang variabel indikator keberhasilannya ialah tentu menyesuaikan arah gerak perkaderan yang telah dirancang di awal kepemimpinan. 


Menyusun Ulang

Tentu, penulis juga berpikir bahwa ide di atas adalah hal yang tidak familiar di tengah-tengah kita. Akan tetapi jika kita hendak konsisten terhadap nilai yang kita pegang -dalam hal ini SPI- maka seharusnya ide di atas sejatinya telah kita lakukan. 

Kita tidak ingin bahwa upaya perkaderan kita hanya terasa ketika pelaksanaan belaka, akan tetapi di akhir kepemimpinan kita tidak melihat hasil apa-apa. Hal itu karena kita tidak menentukan ukuran hasil apa yang kita inginkan dan bagaimana cara mencapai hasil tersebut. 

Kita juga tidak ingin bahwa "IMM Telah Mati" yang di-notice oleh Habib Muzakki dalam bukunya Kelahiran yang Dirayakan benar-benar terjadi. Hal itu karena kegiatan perkaderan hanya sebatas pok mari dan kemudian selesai ketika masa kepemimpinan berakhir. 

 Ada beberapa sebab pastinya terkait tidak familiarnya ide penilaian evaluatif perkaderan dan fungsi instruktur dewasa ini. Salah satunya mungkin ialah pemahaman dan kesadaran akan hal tersebut. Ini mungkin bisa dikatakan sebuah klaim yang terkesan egois dan terlalu cepat. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa permahaman terkait penilaian evaluatif dan fungsi-fungsi instruktur masih asing di antara kita. 

Ini dibuktikan di dalam rapat-rapat pengonsepan perkaderan -seperti Masta misalnya, yang hanya mayoritas dihadiri oleh para instruktur saja. Padahal tugas pengonsepan itu juga diemban oleh Steering Committee (SC). Bukti yang lain juga ketika kita masih gagap merancang silabus perkaderan. 

Oleh karena itu, upaya awal yang bisa dilakukan kiranya ialah sosialisasi sistem perkaderan ikatan kepada seluruh pimpinan komisariat di awal-awal masa jabatan. Hal ini untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada seluruh pimpinan komisariat tentang konsep serta terknis pelaksanaan perkaderan. 

Akhir kata, penulis berharap bahwa ide-ide sistem perkaderan, terutama tentang penilaian evaluatif dan fungsi instruktur mulai tumbuh hari-hari ini. Dan tentunya tulisan di atas sangat bisa dievaluasi oleh teman-teman yang lain, terutama para instruktur sendiri. 

Hal demikian karena para instruktur lebih mengerti bagaimana sistem perkaderan yang seharusnya. Akan tetapi, jika isu atau opini di atas tiada satupun yang menanggapi, bisa jadi para instrukur juga masih gagap akan ide-ide krusial di atas. 

Maka sangat disayangkan jika memang demikian realitanya. Karena bagaimana sistem perkaderan akan tumbuh lebih baik, jika instruktur sendiri yang mendapatkan porsi lebih banyak tentang materi-materi perkaderan ternyata juga gagap dan tidak memahaminya. 


Editor: Restu Agung Santoso




Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA