Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Semua Karena Mereka

Gambar oleh Dindindan Bintang, diunduh melalui istockphoto.com
Penulis: Yogaraksa Ananta (Ketua Bidang HPKP Koorkom IMM UINSA)


Lagi, lagi, dan lagi. Dinamika konflik sosial, politik dan kepentingan terus bergulir. Sebulan ini Indonesia kian sibuk dengan berbagai kecamuk permasalahan, dari horizontal hingga vertikal. Permasalahan itu berawal ketika DPR mengusulkan untuk meningkatkan tunjangan rumah hingga 50 juta per bulan. Lantas, menuai konflik di rakyat, banyak rakyat yang kecewa akan usulan tersebut.

Alhasil gelombang penolakan terjadi melalui aksi demonstrasi di berbagai daerah. Segala elemen rakyat ikut andil dalam aksi tersebut, dari buruh, mahasiswa, hingga sipil. Tak cuma itu, aksi yang dilakukan menyulut emosi publik internasional, terlihat dari adanya media internasional yang meliput kejadian, seperti Aljazeera.

Emosi publik kian bereskalasi, pada puncaknya ketika mendapati informasi perihal Affan Kurniawan seorang pengemudi ojek online yang terlindas mobil rantis Brimob hingga tewas. Adapun rakyat menerima informasi dengan bermacam bentuk, seperti artikel berita, hingga tayangan video.

Pasca kejadian itu, rakyat merespon dengan berbagai cara, mengkritik instansi kepolisian yang dinilai lalai dalam menjalankan tugas dan menyalahgunakan kewenangan. Berbagai aksi massa lanjutan kian menyeruak dua kali lipat daripada sebelumnya. Terbukti ketika demonstrasi yang dilakukan tak lagi hanya terfokus pada DPR saja melainkan mengalami letupan hingga instansi kepolisian.

Na’as konflik sosial kian memanas, amukan massa makin beringas, kejadian pembakaran fasilitas negara masif terjadi di beberapa titik daerah, seperti pembakaran gedung DPRD, pos polisi, dan fasilitas publik.

Mirisnya penjarahan juga dilakukan seolah-olah itu bentuk perlawanan, padahal kesalahan yang dibenarkan bukan tindakan bijak. Korban dari massa dan kepolisian mulai berjatuhan. Terus terang saja benturan antara pemerintah dengan rakyat, dan rakyat dengan rakyat terlihat jelas. Seakan penulis bertanya, siapa pihak pertama yang harusnya disalahkan disini?

Anggota DPR RI harusnya menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab dan klarifikasi atas terjadinya konflik ini. Bagaimana tidak, munculnya respon rakyat mencuat karena tindakan dan etika mereka tidak berpihak kepada ekonomi kerakyatan secara umum. 

Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai kerakyatan. Namun, beberapa anggota DPR RI malah mengeluarkan statement kontroversial saat merespon kenaikan tunjangan DPR.

Sebetulnya konflik bisa diredam ketika sedari awal Anggota DPR RI secara terbuka melakukan komunikasi kepada rakyat yang melayangkan aspirasi dan tuntutan. Tetapi mereka malah menutup rapat-rapat telinga mereka melalui instrumen penjagaan ketat aparat di depan gedung DPR RI, secara tak langsung sikap itu berpotensi mencederai falsafah Pancasila.

Alih-alih kejadian ini bukan hanya mencederai Pancasila, tapi juga demokrasi. Tentu akan hal itu berdampak pada menurunnya Indeks demokrasi.

Menurut laporan dari The Economist Intelligence Unit (EIU), skor indeks demokrasi Indonesia pada 2024 adalah 6,44 dari skala 10, turun dari nilai 6,53 pada tahun sebelumnya. Penurunan skor ini menyebabkan peringkat Indonesia turun dari posisi ke-56 menjadi ke-59 dari 167 negara. Miris, terlebih jika penurunan disebabkan oleh sikap lembaga legislatif kita.

Dampak menurunnya indeks demokrasi akan menyebabkan multiperspektif yang dekaden pada rakyat. Semangat berdemokrasi mereka mungkin tergoyahkan melihat lembaga legislatif yang seharusnya menjadi katalisator demokrasi, malah menjadi perusak demokrasi itu sendiri melalui sikap-sikap yang eksklusif.

Dapat diartikan bahwa demokrasi per hari ini hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan, hanya ketika hendak pemilu, instrumen demokrasi digunakan untuk meraup suara rakyat pada kampanye politik yang ujung-ujungnya hanya demagog.

Ketika mereka terpilih, acap kali instrumen kekuasaan digunakan dalam menindaklanjuti aspirasi rakyat, mendahului instrumen demokrasi. Praktiknya terlihat ketika rakyat melakukan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi, tetapi rakyat malah dihadapkan oleh aparat kepolisian.

Aparat dalam konteks konstitusi mereka menjalankan fungsi sesuai dengan Pasal 2 UU 2/2002 berfungsi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban rakyat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada rakyat.

Tetapi apalah daya terkadang mereka juga pelanggar pasal tersebut dengan tindakan represif, hingga melayangkan sebuah nyawa, miris. Akhirnya pelebaran bentrokan terjadi, saat ini rakyat bukan hanya menuntut DPR, melainkan instansi kepolisian.

Sebagai rakyat kita perlu untuk mempertajam kesadaran kritis untuk merefleksikan fokus kita kembali, karena terbaru ini mungkin kita telah lelah melihat orientasi aksi massa yang melebar kemana-mana, yang seharusnya fokus kepada supremasi DPR, malah terfokuskan pada tindakan-tindakan lain yang barangkali tak sesuai dengan tuntunan seharusnya. Namun, atas kejadian itu bisa menjadi evaluasi khalayak rakyat secara umum dari penggiringan isu lain.

Hemat penulis, DPR harus melakukan reformasi birokrasi, jika tak dilakukan dengan segera maka kekecewaan rakyat akan terus berefek domino. Efek domino ini tak hanya dirasakan melalui penilaian rakyat nasional, internasional pun juga.

Acap kali bentrokan antar warga negara riskan terjadi. Jika tak segera dilakukan pembenahan, sampai kapan kita sebagai rakyat menunggu dan sampai kapan kita menanggung malu atas buruknya birokrasi DPR dalam menyerap aspirasi rakyat.

Sudahi demagog-demagog yang terjadi, sampai kapan istilah demokrasi terus dijual untuk meraup suara demi kepentingan pribadi. Akhirul kalam, luasnya konflik terjadi semua karena mereka yang terhormat, DPR. 


Editor: Restu Agung Santoso

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA