Fashion Gen Z: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Sosial
![]() |
| Gambar oleh ATHVisions, diunduh melalui istockphoto.com |
IMM UINSA (31/10/2025) - Fenomena pakaian yang minimalis dan "kurang bahan" menjadi trending akhir-akhir ini dikalangan muda, terutama gen z. Banyak diantaranya yang terjebak dalam dunia penasaran, ikut tren atau istilahnya adalah fomo (fear of missing out).
Menurut Rocky Gerung dalam diskusi publik di Bento Kopi (24/11/2024) terjadinya fear of missing out berakar pada kosongnya pemahaman dalam logika serta minimnya literasi yang mengakibatkan pada budaya fomo saat ini.
Dalam pandangan Islam, tren fashion yang menonjolkan aurat atau bersifat provokatif tidak sejalan dengan prinsip haya’ (rasa malu) dan adab berpakaian yang diajarkan syariat.
Pakaian seharusnya menjadi sarana untuk menjaga kehormatan diri (hifz al-‘ird), bukan sebaliknya menimbulkan fitnah atau rangsangan yang berpotensi mengarah pada perilaku tidak senonoh.
Oleh karena itu, Islam menekankan tanggung jawab bersama, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menjaga pandangan dan menahan diri agar terhindar dari perbuatan yang dilarang.
Dalam Islam, fashion tidak hanya mengedepankan nilai estetika saja, didalamnya terdapat etika dan aturan. Karena fashion atau berpakaian tidak hanya "yang penting menutup aurat" tetapi "yang penting sesuai dengan syariat".
Kebebasan Berekspresi
Beberapa tahun silam, terdapat sebuah festival atau sebuah acara yang memancing intensi media sosial secara masif, salah satunya Citayam Fashion Week (CFW). Banyak gaya busana dari para peserta merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dalam berbusana atau fashion.
Kebanyakan gaya busana yang tampak dalam Citayam Fashion Week adalah street style. Outfit yang dikenakan pun variatif mulai dari oversized style, crop top, flannel shirt, dan celana jeans.
Tren fashion yang berkembang saat ini banyak dipengaruhi oleh faktor estetika, sehingga banyak di antara kalangan gen z mengedepankan keindahan daripada hukum syariat Islam.
Kegagalan fashion dalam kebebasan berekspresi didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Fatya, dkk (2023), bahwa lebih dari 50 persen orang menyebutkan penggunaan hijab merupakan sekeder tren fashion saja.
Tentu, data ini menjadi sangat miris karena masih banyaknya peminat fashion yang mengedepankan tren saja tanpa melihat aturan-aturan agama yang dipertimbangkan.
Fenomena kebebasan berpakaian sering kali disertai berbagai statement yang beragam, seperti “kebebasan berpakaian adalah hak individu” atau “laki-laki yang harus menjaga pandangan.
Meskipun pernyataan tersebut memiliki dasar pada kebebasan berekspresi dan kreasi individu, namun penulis memandang bahwa fenomena ini perlu dikritisi secara mendalam. Hal ini karena kebebasan yang tidak disertai dengan kesadaran moral dan batas etika justru dapat menimbulkan dampak sosial yang negatif.
Dalam perspektif teori psikoanalisis Sigmund Freud, perilaku manusia digerakkan oleh dorongan bawah sadar (unconscious drives), terutama naluri biologis (id) yang berkaitan dengan hasrat dan kenikmatan.
Ketika kontrol kesadaran (ego dan superego) melemah, individu cenderung bertindak tanpa mempertimbangkan norma sosial maupun moral, yang dapat bermuara pada perilaku amoral, termasuk pelecehan seksual.
Dengan demikian, cara berpakaian yang bersifat provokatif dapat menjadi salah satu stimulus eksternal yang memicu dorongan ketidaksadaran tersebut, meskipun bukan satu-satunya faktor penyebab.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dalam berbusana dan tanggung jawab moral, baik dari pihak perempuan maupun laki-laki, agar nilai-nilai kesopanan, norma sosial, dan keselamatan marwah individu tetap terjaga dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, I. L, Syaepu & Sauki, M (2021) dalam penelitiannya banyak anak muda yang mengeskplorasi fashion sesuai norma sosial dan syariat islam juga tetap modis dan syar’i. Hal tersebut tanpa disadari merupakan komodifikasi agama dengan nilai spiritual dan kapitalis.
Perkembangan fashion banyak dipengaruhi oleh pandangan Islam. Akhirnya muncul dampak positif dan negatif. Munculnya ruang ekspresi yang membangun identitas personal yang unik dan menarik.
Namun, mirisnya fashion yang diselaraskan dengan syariat Islam menimbulkan salah pemahaman yang berujung pada kegagalan dalam berbusana, bahkan "berpenampilan tapi telanjang".
Tanggungjawab Syariat dan Sosial
Philip Kotler, seorang pengamat fashion yang mengidentifikasikan pengaruh fashion diantaranya adalah faktor budaya yang berpengaruh terhadap perilaku berpakaian, di mana hal tersebut berakar pada kelas sosial. Semakin tinggi kelas sosial seseorang, semakin bergengsi kelas fashionnya.
Islam memandangnya sebagai sebuah kegagalan apabila sebuah tren berbusana adalah sebuah bentuk kreativitas bukan pemenuhan aturan syariat Islam. Sementara itu, masyarakat memandangnya sebagai hal yang tabu apabila tren fashion menjadi sarana mempertontonkan aurat, menyalahi norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya pergeseran makna dalam memahami fungsi fashion dan busana di tengah masyarakat modern. Busana yang semestinya menjadi simbol kesopanan, identitas, dan nilai moral kini kerap direduksi menjadi alat ekspresi diri dan pencitraan sosial.
Pergeseran ini tidak hanya menimbulkan krisis identitas budaya, tetapi juga mengikis nilai-nilai religius yang seharusnya menjadi pedoman dalam berpenampilan.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah tren fashion saat ini masih mampu merepresentasikan nilai kesantunan dan etika berpakaian dalam perspektif Islam, atau justru menjauhkan manusia dari tujuan spiritual dan moral berpakaian itu sendiri?
Beberapa influencer baik di Instagram maupun tiktok menampilkan konten busana yang fashionable dan masih menutup aurat sesuai syariat. Di antaranya ada Richa Etika Ulhaq yang mendudukkan keindahan fashion dengan aturan Islam yang sejalan dengan norma kesopanan sosial.
Melalui konten tersebut, pakaian atau fashion yang syar’i menunjukkan identitasnya sebagai bentuk kematangan spiritual dan estetika, bukanlah hal yang membatasi ekspresi diri. Karena syariat dan norma sosial punya aturan yang perlu dijalankan sebagaimana mestinya, bukan sekedar formalitas saja.
Dalam islam, pakaian bukan sekedar pelindung tubuh atau simbol keindahan saja, melainkan terkandung nilai moral dan spiritual didalamnya.
Al-Qur’an menjelaskan dalam Qs. Al-A’raf ayat 26, “Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan sebagai perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik”.
Dari ayat diatas menegaskan pakaian dengan dua fungsi utama. Pertama, fungsi lahiriah untuk menutup aurat, melindungi tubuh dari terik panas matahari atau dinginnya malam. Kedua, sebagai simbol ketakwaan dan keimanan seseorang.
Dengan demikian, fashion, busana atau pakaian bukan sekedar aktivitas keindahan dan estetika semata, tetapi juga sebagai cerminan ibadah, kesadaran spiritual terhadap syariat Islam.
Editor: Restu Agung Santoso
