Chapter 1: Harapan yang Kubenci
![]() |
| Gambar oleh ChamilleWhite diunduh dari istockphoto.com |
Penulis: Azzahra Gadis Alkhalifi (Kader PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)
Museum Kebanggaan Keluarga
Orang-orang
bilang, "Jangan pernah kehilangan harapan."
Tapi bagi Rinjani,
harapanlah yang perlahan membuatnya membusuk dari dalam, seperti bunga langka
yang dirawat sempurna di luar tetapi akarnya telah membusuk karena kekurangan
ruang gerak.
Sejak kecil, kehidupan Rinjani adalah serangkaian checklist yang sempurna. Ia tumbuh di tengah tepuk tangan, bukan karena ia mencari perhatian, melainkan karena ia selalu memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh lingkungannya.
Di dinding ruang
tamu rumahnya, yang ia sebut "Museum Kebanggaan Keluarga," terpajang
bingkai-bingkai prestasi: medali kompetisi debat nasional, piagam lulusan terbaik Fakultas Ekonomi, foto dirinya saat dinobatkan sebagai vice president termuda di bank investasi tempat ia bekerja.
“Lihat, Rin. Kita
tidak pernah salah memilihkan jalan untukmu,” ujar ibunya suatu hari, menunjuk
bingkai foto wisuda Rinjani dari Fakultas Ekonomi, jurusan yang tidak ia
pilih—ia lebih menyukai seni rupa.
Rinjani hanya
tersenyum tipis. Senyum itu sempurna, dilatih sejak usia sekolah dasar agar
terlihat bersahaja dan bersyukur, menutupi rasa sesak di dadanya.
Saat ini, Rinjani
berusia 28 tahun, seorang analis keuangan senior di Capital Trust Group,
sebuah perusahaan yang dikenal dengan tekanan kerja gila-gilaan. Ia bekerja di
kantor yang tidak ia cintai, menghabiskan 12 jam sehari di bilik kubikel dengan
AC yang sedingin ambisi.
“Rinjani, meeting
pukul sembilan. Kau harus presentasikan rencana merger untuk kasus Global
Synergy,” suara Bara, manajernya, terdengar tegang di telepon.
“Siap, Mas Bara.
Data sudah saya siapkan,” jawab Rinjani. Suaranya selalu tenang, selalu siap,
selalu profesional.
Bahkan dalam
urusan asmara, Rinjani memilih apa yang diharap: Arfan. Arfan adalah
seorang pengacara sukses, mapan, berwawasan luas, dan yang terpenting,
"sangat cocok" di mata orangtuanya. Hubungan mereka stabil, logis,
dan... tanpa denyut.
Malam itu, saat
makan malam di restoran dengan pemandangan kota, Arfan menatap Rinjani dengan
tatapan bangga yang sama yang selalu ia lihat dari semua orang.
“Aku tahu kita
akan menikah, Rin. Kita punya visi yang sama. Kita saling mendukung
karier. Kita adalah pasangan yang sempurna, contoh bagi semua orang,” kata
Arfan, menggenggam tangannya yang dingin.
Rinjani balas
tersenyum, merasakan beban baru mendarat di bahunya—harapan akan pasangan
yang sempurna.
“Tentu, Fan. Tentu
saja,” jawabnya.
Tapi tak ada yang
bertanya: "Apakah kamu bahagia?"
Tidak. Kebahagiaan
Rinjani sudah lama digadaikan demi kewajiban. Kewajiban untuk selalu
unggul, untuk selalu stabil, untuk selalu menjadi kebanggaan. Setiap harapan
yang ditempelkan orang lain menjelma beban, membebani jiwanya hingga ia
kesulitan bernapas.
Semakin tinggi
mereka berharap, semakin hampa ia merasa.
Kanvas yang Terkubur
Rinjani memiliki
satu benda rahasia: sebuah kotak cat minyak tua dan kanvas yang belum
tersentuh. Kotak itu terbungkus rapi dan terkubur di lemari pakaiannya sejak ia
memilih Fakultas Ekonomi daripada Institut Kesenian.
Dulu, Rinjani
sangat mencintai seni lukis. Ia bermimpi mendirikan galeri kecil, menciptakan
lukisan abstrak yang berani dan jujur. Tapi Ayahnya berkata, “Seni itu tidak
pasti, Rin. Hidup itu tentang stabilitas finansial. Ambil ekonomi, itu jalan pasti menuju kesuksesan.”
Malam ini, Rinjani
mengambil kotak cat itu. Aroma terpentin yang kuat menyeruak, membawa kembali
kenangan yang menyakitkan. Ia duduk di lantai apartemennya yang minimalis dan
mahal, memegang kuas yang sudah mengeras.
Harapan orang lain
terus berbisik di telinganya:
Kamu harus kuat.
Kamu harus kaya. Kamu tidak boleh mengecewakan siapa pun.
Bisikan itu
berasal dari suara orang tua, Bara, Arfan, dan bahkan dirinya sendiri yang takut
pada ketidakpastian. Bisikan itu menuntut kepatuhan, menuntut pengorbanan
dirinya.
Rinjani menangis.
Bukan tangisan histeris, tapi tangisan diam-diam yang hanya membasahi kanvas
imajinasi. Ia menangisi dirinya yang hilang, dirinya yang terkubur di bawah
tumpukan ekspektasi dan laporan keuangan.
Di tengah
keheningan, ia menulis secarik surat: surat pengunduran diri.
Kepada Yth.
Capital Trust Group.
Saya Rinjani
Puspa, menyatakan mengundurkan diri dari posisi analis keuangan senior, efektif
segera.
Hormat saya,
Rinjani Puspa.
Singkat. Tidak ada
alasan. Karena alasan itu terlalu abstrak untuk dijelaskan dalam format formal.
Malam itu, Rinjani
berdiri di balkon apartemennya di lantai 25, memandang lampu kota yang tak
pernah padam. Jakarta, kota yang penuh janji, terasa seperti sangkar berlapis
emas.
Angin malam
berhembus pelan, seolah sedang bertanya, Mengapa kau takut untuk melompat?
Untuk pertama
kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri, sebuah pertanyaan yang tidak pernah
diizinkan untuk diucapkan:
“Kalau
aku berhenti jadi harapan orang lain… apakah aku akan dibenci? Atau justru…
akhirnya aku bisa mencintai diriku sendiri?”
Jawaban yang
datang bukanlah kata-kata, melainkan sebuah sensasi: rasa berdebar yang lama
hilang. Rasa berdebar karena mempertimbangkan kemungkinan untuk menjadi
dirinya sendiri, meskipun itu berarti kekacauan.
Editor: Cindy Fatika Sari
