Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Chapter 2: Harapan yang Kubenci

Gambar oleh Mumemories diunduh dari istockphoto.com

Penulis: Azzahra Gadis Alkhalifi (Kader PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)

 

Kemeja Putih yang Diganti

Esoknya, Rinjani masuk kantor seperti biasa, tetapi ada yang berbeda.

Ia tidak lagi mengenakan blus sutra dan rok pensil mahal yang mencekik. Ia memakai oversized t-shirt putih polos dan celana jins yang sudah usang. Ia tidak memakai jam tangan emas yang diberikan Ayahnya saat ulang tahun. Di tangannya, ia membawa tas kanvas lusuh berisi kuas dan cat.

Semua mata di lobi kantor tertuju padanya. Kebanggaan keluarga itu kini terlihat seperti pertanyaan besar yang berjalan.

Di ruang meeting mewah yang menghadap ke jantung kota, semua orang sudah berkumpul: Bara, para partner, dan perwakilan dari Global Synergy.

Rinjani berdiri di depan, alih-alih mengambil remote proyektor, ia meletakkan tas kanvasnya di meja kaca.

Keheningan melanda ruangan. Bara berdeham, wajahnya tegang.

“Rinjani, penampilanmu…,” bisik Bara bingung.

Rinjani tersenyum, senyum yang kali ini tidak sempurna, melainkan tulus. “Hari ini, saya memilih untuk tidak mencekik ekspresi saya sendiri, Mas.”

Ia mengambil surat pengunduran diri dari saku jaketnya.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, terima kasih atas kesempatan yang berharga,” Rinjani memulai, suaranya mantap, tetapi ada getaran kebebasan di sana. “Saya hari ini menyatakan berhenti.”

Para partner saling pandang, terkejut. Ibu Sofia, partner senior yang sangat dihormati, menyela dengan nada tajam. “Rinjani, jangan bercanda. Proyek merger ini bergantung padamu. Kau adalah aset terbaik kami!”

“Tidak ada bercanda, Bu Sofia. Saya berhenti. Bukan karena saya menyerah pada angka. Tapi karena saya ingin memilih sendiri siapa yang ingin saya kecewakan… dan siapa yang ingin saya bahagiakan.”

Ia menatap Ibu Sofia lurus-lurus. “Selama ini, saya mengecewakan satu orang: diri saya sendiri. Saya memilih untuk memenuhi harapan Ibu, harapan orang tua saya, harapan Arfan, dengan mengorbankan jiwa saya. Saya takut dibenci jika saya memilih jalan yang tidak stabil.”

Ia berjalan menuju meja Bara, meletakkan surat itu.

“Saya yakin, proyek merger ini akan sukses tanpa saya. Tapi saya tidak akan sukses sebagai manusia jika saya tetap di sini.”

Rinjani membungkuk hormat, mengambil tas kanvasnya, dan berjalan keluar.

Langkah kakinya terasa ringan. Tanpa janji. Tanpa beban.

Saat ia mencapai lift, ia mendengar Bara berteriak dari kejauhan, "Rinjani! Arfan dan orangtuamu akan kecewa berat! Kau menghancurkan kariermu!"

Rinjani menekan tombol down, dan ia tersenyum. Ya, pikirnya. Mungkin ini menghancurkan karier yang mereka inginkan. Tapi ini adalah pembangun kembali diriku.

 

Warna di Sudut Kota

Pengunduran diri Rinjani menciptakan badai yang sama kuatnya seperti di kantor.

Arfan datang menemuinya, kemejanya kusut, raut wajahnya terluka.

“Kenapa, Rin? Kita adalah tim! Kenapa kau menghancurkan semua yang sudah kita bangun? Kita sudah di puncak! Kau membuatku terlihat bodoh di depan semua orang!” tuntut Arfan.

“Kau benar, Fan. Kita adalah tim—di atas kertas. Tapi tim yang sempurna seharusnya tidak membuat salah satu anggotanya membusuk. Aku tidak menghancurkan kita, aku menghancurkan citra yang kau dan orangtuaku proyeksikan padaku.”

“Tapi ini tidak logis! Melukis? Itu hobi! Kita sudah merencanakan masa depan yang aman!”

“Masa depan yang aman tidak sama dengan masa depan yang jujur, Fan. Aku harus jujur padaku. Aku tidak mencintaimu, aku mencintai gagasan diriku yang cocok untukmu.”

Perpisahan itu terasa menyakitkan, tetapi ada kelegaan yang luar biasa. Rinjani kini benar-benar sendirian.

Ia pindah dari apartemen mewahnya, menyewa studio kecil yang lembap di sudut kota yang ramai. Ia tidak lagi memakai high heels. Ia memakai kuas.

Rinjani mulai melukis. Awalnya, lukisannya berantakan, penuh warna gelap, dan marah. Ia melukis kanvas-kanvas yang penuh frustrasi dan kesepian. Ia, seorang analis keuangan, kini menjadi seniman yang berjuang.

Namun, saat ia melukis, membiarkan warna-warna itu menjadi luapan perasaannya, ia merasakan jiwanya kembali.

Suatu sore, seorang pemilik kedai kopi kecil bernama Arya, seorang fotografer, melihat lukisan Rinjani yang dipamerkan di dinding kafe. Lukisan itu abstrak, penuh garis tajam dan titik-titik yang kacau, tetapi sangat kuat.

“Lukisan lo brutal,” komentar Arya. “Gue bisa lihat rasa tercekik di sini.”

“Terima kasih,” jawab Rinjani. Pujian tentang kejujuran, bukan tentang kesempurnaan.

“Kenapa lo pindah jalur? Gaya lo bukan gaya seniman yang cari validasi. Lo kayak orang baru keluar dari ruang penyiksaan,” tanya Arya.

Rinjani tersenyum, senyum yang renyah dan penuh makna. “Mungkin memang begitu. Aku baru saja melepaskan semua harapan yang mengikatku selama dua puluh delapan tahun.”

“Lo gak benci harapan, Rin,” kata Arya, menatapnya dengan bijak. “Lo benci kontrol. Harapan sejati harusnya membebaskan, bukan mengikat. Lo butuh harapan lo sendiri yang lo rawat.”


Editor: Cindy Fatika Sari

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA