Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Chapter 3: Harapan yang Kubenci

 

Gambar oleh Nongkran_ch diunduh dari istockphoto.com

Penulis: Azzahra Gadis Alkhalifi (Kader PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)


Kanvas Harapan Sejati

Waktu berlalu. Rinjani tidak menjadi seniman terkenal dalam semalam. Ia hanya menjadi seniman. Ia menciptakan karya-karya tentang keputusasaan, pengorbanan, dan akhirnya, tentang keberanian untuk memilih.

Ia belajar bahwa kegagalan itu nyata. Kuasnya salah, uangnya menipis, dan ia harus berjuang menjual karyanya. Tapi di tengah semua kesulitan itu, ia menemukan dirinya yang dulu hilang.

Pada suatu malam, Rinjani mengadakan pameran tunggal kecil di kafe Arya, berjudul "Mendefinisikan Ulang Angka."

Ia memajang lukisan kanvas besarnya: lukisan wajah seorang perempuan yang tersenyum sempurna, tetapi di balik senyum itu, ada pecahan kaca dan warna-warna yang berteriak.

Setelah ia selesai memberikan sambutan, ia melihat Ayah dan Ibu Rinjani berdiri di sudut ruangan. Mereka menemukan Rinjani melalui Arya.

Mereka tidak lagi marah. Mereka hanya terlihat tua dan bingung.

Rinjani berjalan ke meja mereka.

“Kalian di sini,” kata Rinjani, nadanya tenang.

Ibunya berjalan mendekat, menatap lukisan itu. “Rinjani… ini… apakah ini yang kau rasakan selama ini?”

“Ya, Bu. Ini adalah laporan keuangan emosiku. Angkanya nol, tapi isinya penuh.”

Ayahnya menatap Rinjani, matanya penuh keraguan. “Apakah kau bahagia, Rin? Kau meninggalkan stabilitas. Kau tidak punya jaminan.”

Rinjani tersenyum. “Ayah, aku tidak akan berbohong. Aku takut. Aku sering merasa tidak aman. Tapi, untuk pertama kalinya, ketakutan dan ketidakamanan ini adalah milikku. Dan aku tidak perlu menjadi Vice President untuk merasa berharga.”

Ia mengambil napas dalam-dalam.

“Aku mencintai kalian. Tapi aku harus memilih diriku sendiri. Harapan kalian adalah agar aku sukses dan aman di mata dunia. Harapanku adalah agar aku hidup dan jujur di mataku sendiri.”

Ayahnya mengulurkan tangan, meraih tangan Rinjani. “Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”

“Aku tahu, Ayah. Tapi yang terbaik untukku adalah yang aku pilih. Dan penderitaan karena menjadi diriku sendiri, jauh lebih ringan daripada penderitaan karena menjadi bayangan orang lain.”

Ayahnya hanya mengangguk pelan. Itu bukan penerimaan total, tetapi itu adalah awal dari pemahaman.

 

EPILOG: Harapan yang Menghidupkan

Rinjani tidak pernah kembali ke dunia korporat. Ia menjadi seniman. Ia menemukan bahwa ia mencintai Arya, bukan karena ia 'cocok' di mata dunia, tetapi karena Arya mencintai lukisan-lukisannya yang kacau dan jujur.

Rinjani menyadari, harapan itu netral. Yang berbahaya adalah ketika harapan itu menjadi rantai yang mengikat. Harapan yang sejati harus berasal dari pilihan diri, meskipun itu berarti harus mengecewakan seribu orang lainnya.

Ia masih menyimpan bingkai foto wisudanya, tetapi kini di sampingnya tergantung kanvas kecil: lukisan dirinya yang sedang tersenyum sempurna, dengan teardrop cat minyak yang mengalir dari mata. Ia telah menerima, ia pernah terluka.

Bagi mereka yang belum bangkit dari harapan orang lain, kisah Rinjani berbisik:

Harapan itu adalah milikmu. Ambil kembali. Tanyakan pada dirimu sendiri, ‘Apa yang aku inginkan?’ Biarkan jawabanmu menjadi kuas yang melukis hidupmu.

Dan Rinjani tahu, harapan yang ia pegang kini, harapan untuk terus jujur pada dirinya sendiri, meskipun itu sulit, meskipun itu menyakitkan—itu bukan harapan yang ia benci, melainkan harapan yang menghidupkan.


Editor: Cindy Fatika Sari

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA