Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kontroversi Dibalik Pengesahan UU KUHAP

Dokumentasi: Rivan Awal Lingga/nz diunduh dari Antara Foto

Penulis: 

Raden Muhammad Hernandya Pradipta (Anggota Bidang HPKP PK IMM Avempace)

Thariq Afdhala (Sekretaris Bidang HPKP PK IMM Avempace)


“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-frkasi terhadap RUU KUHAP apakah dapat disetujui menjadi UU?” Tanya Puan, selaku Ketua DPR RI. Seluruh peserta rapat paripurna pun kompak menjawab “Setuju”. Took... bunyi palu yang dipukul Puan yang menandakan disahkannya RUU KUHAP menjadi UU KUHAP pada selasa tanggal 18 November 2025. Adanya pengesahaan RUU ini terjadi di saat para pegiat demokrasi menilai ada sejumlah pasal bermasalah di dalamnya.(bbc.com) Sehingga, adanya pengesahaan RUU ini masih terbilang belum cukup matang untuk disahkan.

Pada tulisan ini kami memakai sudut pandang dan berfokus pada sisi politik. Besar harapan setelah tulisan ini terbit, ada tulisan yang membahas isu ini dengan memakai sudut pandang hukum. Kembali ke topik, pengesahan KUHAP memang memiliki keuntungan agar memperkuat posisi warga negara dalam hukum. Dijelaskan juga pada KUHAP baru ini dibutuhkan seiring dengan akan dibelakukannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan mulai berlaku 2 Januari 2026.(marinews.mahkamahagung.go.id)

Namun, dibalik keuntungan dan dibutuhkannya pengesahaan KUHAP ini, tidak selaras dengan proses pembahasannya yang ugal-ugalan. Ini bisa dilihat dari pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP, sebanyak 1.676 poin, selesai dalam dua hari.(bbc.com) Lalu, pada 8 April 2025, koalisi sipil menghadiri pertemuan tertutup. Pada pertemuan tersebut, koalisi sipil menyebutkan bahwa pada rapat tersebut hanya membahas proses penyusunan tanpa masuk pembahasan substansi mengingat belum ada draf yang dipublikasikan DPR RI. Koalisi sipil juga menyebutkan, pada pertemuan tersebut diklaim menjadi Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).(bbc.com)

Bukan itu saja, proses Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang 2025 cuma berjalan dua hari. Pemerintah dan DPR mengaku membahas masukan pasal yang diklaim dari masyarakat sipil.(bbc.com) Adanya proses ugal-ugalan ini membuat pengesahaan RUU KUHAP menjadi penuh kontroversi dan banyak pihak yang mempertanyakan akan pengesahan RUU ini. Walaupun, ada 130 pihak yang mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum, disebutkan juga sejak Februari 2025. 

Naskah akademik telah diunggah di website DPR, daftar inventaris masalah dibahas terbuka, dan disebutkan pula bahwasannya sudah semaksimal mungkin berikhtiar memenuhi meaningful participation.(tempo.co) Namun itu belum cukup untuk meredam permasalahan- permasalahan yang ada pada pengesahaan RUU ini. Per hari kemarin, di tanggal 19 november 2025 koalisi Masyarakat sipil telah memberikan pernyataan keberaratan terhadap UU KUHAP yang dianggap membahayakan dan berpotensi menimbulkan kesewanangan aparat terhadap masyarakat dengan menggunakan celah-celah uu kuhap yang cacat dalam pembentukannya.(icjr.or.id)

Koalisi Masyarakat sipil menuntut agar DPR melakukan revisi segera dan melakukan penundaan penerapan UU KUHAP secara menyeluruh karena berpotensi adanya kegagalan implementasi aturan di daerah-daerah dan kesalahpahaman dalam mengartikan aturan baru ini. Berdasarkan poster yang beredar di Instagram di draft RUU KUHAP pada 13 November, terdapat beberapa pasal kontroversial dengan narasi “RUU KUHAP bikin #semuabisakena” yang disebarkan oleh Indonesian Matters dalam bentuk 4 poin permasalahan.

Penulis juga sadar, bahwa terdapat kegagalan dalam perancangan undang-undang yang justru bisa sangat membahayakan masyarakat sipil dan mensupremasi peran aparat kepolisian dalam melakukan penyelidikan yang tentu saja sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.(tempo.co) Penulis telah menyoroti beberapa pasal yang diajukan oleh beberapa koalisis warga sipil agar segera direvisi. Pasal 1 ayat 34 dan 124 dijelaskan bahwa kegiatan penyadapan atau melakukan perekaman secara diam-diam sah dan illegal dilakukan sesuai dengan kepentingan penyidikan.(icjr.or.id)

Pasal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kesewenangan terhadap penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan tidak menunjukan batasan-batasan yang jelas dan terkait prosedur kegiatan penyadapan, apalagi peraturan ini juga tidak mengatur perlindungan bagi warga sipil yang disadap dan tentunya sangat membahayakan jika tidak ada regulasi yang jelas setelah dilakukan kegiatan penyadapan tersebut. Pasal 132A dan Pasal 44 dalam draf RUU KUHAP sama-sama membuka ruang kewenangan sepihak bagi penyidik tanpa memerlukan persetujuan hakim. Pasal 132A memberi kewenangan kepada penyidik untuk melakukan pemblokiran secara sepihak dengan alasan “kondisi darurat” berdasarkan penilaian subjektif penyidik sendiri. 

Sementara itu, Pasal 44 juga memperbolehkan penyitaan barang tanpa persetujuan pengadilan, kembali hanya berdasarkan subjektivitas penilaian penyidik.

Kedua pasal ini, meskipun konteksnya berbeda, namun memiliki persoalan inti yang sama, mengesampingkan kontrol objektif dari hakim sebagai mekanisme check and balance. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran adanya potensi penyalahgunaan wewenang, tindakan sewenang-wenang, dan pelanggaran hak warga negara oleh aparat kepolisian. Walaupun alasan efektivitas penegakan hukum menjadi dasar pemberian kewenangan tersebut, ketiadaan persetujuan lembaga pengadilan justru membuka celah yang sama besarnya untuk terjadinya pelanggaran prosedur dan ketidakadilan.

Dan terkait pasal 6, Pasal 7 ayat (3) (4) (5), Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 24 ayat (3), bahwa penyidik PPNS dan penyidik tertentu berada di bawah koordinasi kepolisian. Sehingga, terkait penyerahan berkas-berkas berupa barang bukti harus diserahkan kepada kepolisian terlebih dahulu sebelum diberikan kepada pihak pengadilan. Pasal ini lagi-lagi berpotensi memberikan kesewenangan lebih kepada aparat penyidik dan tidak menghilangkan supremasi aparat di dalamnya, padahal menurut beberapa pandangan koalisi sipil kondisi ini tidak dapat dibiarkan karena dapat mengganggu penyelidikan professional yang dilakukan lembaga-lembaga yang sesuai tupoksinya.(icjr.or.id)

Pada proses pengesahaan RUU KUHAP menjadi UU KUHAP memiliki banyak kontroversi di baliknya. Baik dari proses pembahasannya yang ugal-ugalan dan adanya pasal yang berpotensi membuat kesewenangan aparat. Namun, dibalik kontoversinya pengesahaan UU KUHAP ini dapat memperkuat posisi warga negara dalam hukum serta dibutuhkan seiring dengan akan dibelakukannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan mulai berlaku 2 Januari 2026.

Dengan segala dinamika dan kontroversi yang menyertai pengesahan RUU KUHAP ini, sangat penting bagi DPR dan pemerintah untuk terus membuka ruang dialog serta melakukan revisi substansial demi melindungi hak dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan proses yang transparan, partisipatif, dan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan ketidakadilan maupun kesewenang-wenangan di kemudian hari. Harapan terbesar kami ialah agar UU KUHAP yang baru ini benar-benar dapat mewujudkan keadilan dan memperkuat demokrasi di Indonesia.(Perplexity.AI)


Editor: Etika Rahma Setya 

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA