MBG Tidak Memerlukan Ahli Gizi
![]() |
| Gambar oleh Artificial Intellegence |
Penulis:
Thariq Afdhala (Sekretaris Bidang HPKP PK IMM Avempace)
Raden Muhammad Hernandya Pradipta (Anggota Bidang HPKP PK IMM Avempace)
Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan pernyataan dari Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyatakan statement yang meremahkan ahli gizi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sontak pernyataan tersebut viral di media sosial dan menuai kritik keras dari netizen (jawapos.com).
“Saya enggak suka anak muda arogan kayak gini. Mentang-mentang kalian sekarang dibutuhkan negara, kalian bicara undang-undang. Pembuat kebijakan itu saya” ujar Cucun setelah mendengar pernyataan salah satu peserta dalam Forum Konsolidasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) se-Kabupaten Bandung.
Masukan dari mereka yang paham gizi malah disebut “arogansi,” sementara kebijakan ditetapkan secara sepihak tanpa melihat perspektif profesional. Dengan ahli gizi saja kasus keracunan masih terjadi, bagaimana jadinya kalau peran mereka dipersempit atau bahkan malah di hilangkan?
Bukan hanya itu saja, Cucun juga mengatakan terdapat rencana untuk mengganti diksi dari “ahli gizi” menjadi “tenaga yang menangani gizi” yang menjadi pemicu dari adanya isu ini (kompas.com).
Menurut kami, perubahan diksi tersebut membuat peran ahli gizi bisa saja tersingkirkan. Sebab ahli gizi dan tenaga yang menangani gizi merupakan dua diksi yang sangat berbeda dalam pemaknaanya.
Ahli gizi merupakan seorang yang menekuni keilmuan di bidang gizi serta memiliki keterampilan yang diperoleh melalui suatu pendidikan khusus (alodokter.com). Biasanya ahli gizi memiliki latar belakang pendidikan D3, D4 S1 Gizi. Sedangkan tenaga yang menangani gizi tidak hanya diambil dari D3 sampai S1 saja, tapi juga bisa diambil dari lulusan SMA yang mengikuti pelatihan selama tiga bulan.
Adanya rencana perubahan diksi akan menjadi ancaman bagi para lulusan D3 sampai S1 Gizi. Sebab untuk menjadi tenaga yang menangani gizi bisa melalui SMA saja, tanpa perlu S1 ataupun D3. Karena hal itu berpeluang terjadinya gelombang penggangguran.
Selain masalah lapangan pekerjaan. Realitas menunjukkan bahwa kasus keracunan makanan di berbagai daerah masih terjadi meskipun terdapat peran ahli gizi dalam sistem pelayanan makanan. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran ahli gizi perlu diperkuat, bukan digantikan.
Jika dengan keberadaan ahli gizi saja kasus keracunan masih muncul, bagaimana jadinya jika istilah dan peran mereka justru dipersempit menjadi pengawas gizi yang cakupan tugasnya terbatas?
Sejak dimulainya program MBG, telah terjadi beberapa kelalaian yang mengakibatkan kerugian yang dialami oleh beberapa siswa sekolah dasara maupun menengah. Kasus yang paling terbaru dialami oleh ratusan siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Batam. Para siswa mengeluhkan sakit perut dan diare setelah mereka mengonsumsi daging dendeng yang disajikan pada hari itu (mediaindonesia.com).
Temuan ini dapat menyimpulkan bahwa MBG yang menjadi program yang diutamakan oleh pemerintah belum terlaksana dengan baik dan keluar dari standar operasional prosedur yang telah ditentukan, terutama setelah beberapa rentetan kasus sakit perut, diare, bahkan hingga keracunan masal yang dialami oleh siswa sekolah penerima manfaat program tersebut.
Jika pemerintah belum memberikan langkah-langkah pencegahan serius untuk menanggulangi terjadinya kejadian serupa, maka akan menyebakan ketidakpercayaan publik terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi prioritas nomor satu pemerintah di bidang pembagunan manusia (ekonomi.bisnis.com).
Oleh karena itu penerapan standar operasional prosedur di lingkungan SPPG harus sesuai dengan ketentuan Badan Gizi Nasional (BGN) (mediaindonesia.com). Dengan penerapan SOP yang sesuai maka higienitas makanan akan terjaga dan kualitas pelayanan di lapangan akan semakin baik. Peran ahli gizi juga menjadi pertimbangan mengingat program ini bukan hanya ponyediaan makan siang gratis namun juga proses pengolahan makanan yang sehat dan bergizi untuk para pelajar.
Di Indonesia, sering terjadi pemisahan dalam sistem penetapan program antara peran pembuat kebijakan yang tidak ahli dalam bidang spesifik dengan tenaga profesional. Sehingga program yang diterapkan sering kali tidak sesuai dengan realitas lapangan dan berpotensi menghasilkan bias pelaksanaan (beritanasionalupdate.com).
Sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), MBG perlu diperjelas dalam merekrut orang yang bekerja di dalamnya dan perlu perbaikan dalam sistem kerjanya. Adanya banyak dinamika di PSN ini, sebab dari awal tidak banyak ahli gizi atau tenaga profesional yang duduk di BGN baik di tingkat atas maupun tingkat bawah.
MBG akan berjalan lancar dan baik jika tidak menjadikan PSN ini menjadi permainan politik dan membuat kebijakan bersifat adil dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan di lapangan. MBG bukan sekedar makanan yang mengisi perut kosong, tapi makanan yang dibutuhkan oleh badan sehat dan otak cerdas.
Editor: Iskandar Dzulkarnain
