Rekaman Suara
![]() |
| Gambar oleh Artificial Intellgence |
Penulis: Fatin Azmi Fauziyah (Kader PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)
“Aku pulang duluan, ya.” Almayra melambai pelan pada semua teman-temannya sebelum menyalakan mesin motor dan melaju meninggalkan area kampus. Sepanjang perjalanan gadis itu terdiam, memikirkan banyak hal yang memenuhi pikirannya. Ramainya suasana malam tidak pernah mengusik keributan dalam isi kepalanya. Ia sudah terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
15 menit kemudian, Almayra sampai di kos. Melangkah memasuki ruangan sederhana yang telah menaunginya selama dua tahun. Gadis itu menghembuskan nafas panjang sambal merebahkan diri, menatap langit-langit kamar. Tangannya bergerak pelan, meraba sesuatu di bawah bantal. Hingga menemukan sebuah ponsel lipat keluaran lama yang sengaja Ia simpan disana.
Almayra menyalakan ponsel itu. Memutar sebuah rekaman suara singkat yang terus diputar ulang sejak semalam—rekaman suara sang ayah. Sebuah rekaman yang menemani tidurnya dalam isak tangis kerinduan. Dengan harapan Ia bisa melihat ayahnya lagi dalam bunga tidur, namun nihil.
Dan kini, dia kembali memutar rekaman suara itu. Ingin—sangat ingin sekali mendengar suaranya, terus menerus. Namun hanya rekaman ini yang dia punya.
“Jangan lupa makan, Ra. Jaga kesehatan di sana. Ayah di sini sehat.”
Tangisnya kembali pecah dengan isak pelan yang memilukan. Setiap rekaman itu terputar, mengalun indah dalam indra pendengarannya, semua kenangan itu juga berputar. Semuanya, yang telah terjadi, yang Ia lalui dengan sang ayah. Kenangan di setiap detiknya, di setiap canda tawa yang tercipta, di setiap kebahagiaan kecil yang selalu diusahakan.
Suara itu terdengar berat, serak, dan sedikit serampangan, seolah dikirimkan sambil terburu waktu. Namun bagi Almayra, itu adalah suara paling indah—seperti panggilan surga—yang paling Ia rindukan.
Setiap kata dalam ucapannya selalu menusuk pelan. Rekaman yang dikirim setahun lalu, di malam terakhir sebelum sang ayah masuk rumah sakit setelah sebuah kemalangan yang menimpanya tanpa diduga. Saat itu dirinya tengah mengerjakan tugas kuliah di perpustakaan, dikelilingi buku-buku tebal dan segelas kopi yang sudah dingin. Pesan suara itu masuk di tengah kesibukannya, dan Ia hanya membalasnya dengan balasan singkat. “Iya, Yah.”
Dan esok harinya, Almayra menerima kabar memilukan itu. Ia pulang dengan tergesa, hanya untuk menemukan sang ayah yang terbaring kaku dengan selang oksigen, matanya terpejam rapat dengan wajah damai. Tidak pernah terbuka lagi. Dirinya berpikir, semua telah usai. Seakan di saat itulah waktu hidupnya berhenti bergerak. Butuh beberapa waktu untuk kembali bangkit dan membiasakan hidup tanpa kehadiran sang ayah secara fisik.
Namun nyatanya, Ia belum sepenuhnya berdamai dengan hal itu.
Sejak saat itu, rekaman terakhir sang ayah menjadi satu-satunya cara bagi Almayra untuk ‘berbicara’ dengan sang ayah. Ia memutarnya setiap kali merasa rindu, merasa lelah, atau saat melakukan hal-hal kecil sederhana yang pernah Ia lakukan bersama. Tidak ada lagi wejangan, tidak ada cerita masa lalu, hanya kalimat pendek yang terus membuatnya merasa … pulang.
Dan malam ini, Almayra terus memutarnya berulang kali hingga dadanya terasa sesak. Di luar, hujan mulai turun perlahan, menimbulkan suara lembut di atap seng kos-kosan. Ia memejamkan mata, sambil memeluk ponsel itu lebih erat.
“Ayah....aku kangen....” Ia berbisik nyaris tanpa suara.
Keesokan harinya, ponsel itu tiba-tiba mati dan tidak bisa dinyalakan. Layar hanya berkilat sebentar lalu gelap. Almayra membawanya ke service center, namun jawaban dari teknisi itu membuatnya hilang harapan.
“Kerusakannya parah, Mbak. Datanya susah diselamatkan.”
Dalam perjalanannya pulang, dunia terasa lebih sunyi. Seakan ada sesuatu yang hilang lagi dari hidupnya, meninggalkan dia sendiri. Dan kali ini benar-benar sendirian. Gadis itu terduduk di ranjang, telinganya terasa kosong. Sedikit asing tanpa semua suara yang biasanya menemani. Tidak ada lagi suara sang ayah yang bisa diputar.
Dan dalam kesunyian itu, Ia menutup mata. Dan mendengar sesuatu.
“Jangan lupa makan, Ra. Jaga kesehatan di sana. Ayah di sini sehat.”
Almayra mendengarnya lagi. Suara sang ayah yang menggema dalam kepalanya. Abadi dalam hatinya. Meski tidak jernih seperti rekaman, namun cukup jelas untuk membuatnya tersenyum tipis. Karena nyatanya, suara itu tidak pernah benar-benar hilang, pergi meninggalkannya. Ia hanya pindah tempat—dari ponsel lama yang tidak lagi berfungsi, ke hatinya yang akan terus menghidupkan kenangan itu.
