Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Busyro Muqoddas, Paul, dan Langkah Kita Sebagai Kader IMM

 
Gambar oleh chipstudio, diunduh melalui istockphoto.com

Penulis: Muhammad Alwy Zakaria (Kabid HPKP Komisariat Ushuluddin dan Filsafat)


Dr. M. Busyro Muqoddas (Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM) pasang badan menjadi penjamin penangguhan penahanan aktivis Paul (M. Fakhrurrozi), puluhan akademisi termasuk Rektor 
Universitas Islam Indonesia (UII), aktivis, jurnalis, penulis, musisi, dan seniman juga turut menjadi penjamin penangguhan penahanan aktivis Paul.

Paul ditahan di Polda Jatim sejak 28 September 2025, tim kuasa hukum mengajukan penangguhan penahanan esok harinya, dan meminta polisi untuk mempertimbangkan untuk mengabulkan penangguhan penahanan tersebut, karena paul menjadi tulang punggung untuk adik-adiknya, setelah orang tuanya meninggal.

Paul ditangkap dirumahnya di Yogyakarta oleh aparat yang bertindak atas nama Polda Jatim, penangkapan terjadi di hari Sabtu (27/9/2025) sekitar pukul 14.30 WIB dengan melibatkan puluhan petugas tidak berseragam.

Dilansir dari Tempo, Paul dituduh telibat dalam kerusuhan demo di Kediri akhir agustus kemarin, Paul dituduh berkomunikasi dengan SA (Saepul Amin) untuk menghasut massa agar melakukan penyerangan dan pembakaran sejumlah fasilitas di Kediri.

Dilansir dari Kompas, sebelumnya Saepul Amin telah ditangkap terlebih dahulu karena dia diduga sebagai koordinator aksi demonstrasi yang berakhir ricuh di Kediri akhir Agustus kemarin, Pihak kuasa hukum dari Paul maupun Saepul Amin menilai prosedur penjemputan tersebut mengabaikan mekanisme pemanggilan, sebagai prosedur permintaan keterangan.

Demoralitas Demokrasi

Dr. M. Busyro Muqoddas yang juga merupakan Akademisi Fakultas Hukum UII  mengapresiasi Rektor UII, Prof. Fathul Wahid yang juga turut menjadi penjamin penangguhan penahanan Paul, Fathul menjadi ikon kampus yang berani bersuara ditengah pelemahan demokrasi yang terjadi di kampus lain.

Busyro Muqoddas juga menyoroti brutalitas aparat dalam penanganan demonstrasi akhir Agustus kemarin yang berujung pada penahanan para aktivis, tanpa mengungkap aktor utama di balik kericuhan-kericuhan yang terjadi. Menurutnya, hal ini menimbulkan kesan bahwa Kepolisian sarat menjadi alat kekuasaan politik.

Diberitakan Tempo, per- September kemarin telah di tangkap pula sejumlah aktivis lain yakni Delpedro Marhaen (Direktur Lokataru), Muzaffar Salim (Staf Lokataru), Syahdan Husein (Aktivis Gejayan Memanggil), Khariq Anhar (Mahasiswa Universitas Riau) mereka di tuduh melakukan penghasutan kepada pelajar untuk melakukan demonstrasi.

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengajukan permohonan penangguhan penahanan ke Polda Metro Jaya namun tidak direspon. Mereka juga mengajukan gugatan praperadilan untuk Delpedro dan kawan-kawan, dengan argumen Polda Metro Jaya menyalahi prosedur dalam penetapan Delpedro dan kawan-kawan sebagai tersangka.

Busyro Muqoddas menyatakan bahwa telah terjadi demoralitas (penurunan kualitas) demokrasi. Penulis juga sepakat akan hal itu, pasal nya dalam catatan Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan) tercatat sebanyak 44 orang dilaporkan hilang dalam demo 25-31 Agustus 2025 kemarin.

Hal ini juga diperparah dengan pembuatan RUU yang serampangan dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang komperehensif, seperti RUU TNI, RUU KUHP & KUHAP, ditambah lagi ucapan Presidan Prabowo yang mengatakan “demo dibayari asing” seakan menunjukkan gaya otoriter & anti kritik.

Dilansir dari penelitian Damar Kristal dalam jurnal Penelitian Politik yang berjudul “Perbandingan (DE) Konsolidasi Demokrasi: Studi Penurunan konsolidasi Demokrasi Di Indonesia Dan Filipina Pada Periode 2016-2020”, bahwa Larry Diamond dalam teorinya menjelaskan tiga indikator utama dalam konsolidasi demokrasi.

Diantara indikator utama yakni: 1. Masyarakat, 2. Elite 3. Organisasi, kemudian Damar menambahkan unsur yang juga penting yakni Rule of law, yang mana dalam penelitiannya itu menjelaskan pada periode 2016-2020 telah terjadi penurunan Demokrasi.

Penurunan Demokrasi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni Elemen Konsolidasi Demokrasi (Masyarakat, elite, organisasi dan Rule of Law) yang seharusnya berintegrasi justru menunjukkan gejala yang bertolak belakang dan menghasilkan proses dekonsolidasi (melemahnya) demokrasi.

Hasil penelitian ini juga menjelaskan munculnya fenomena executive aggrandizement (penguatan eksekutif) di negara Indonesia & Filipina yang lebih dominan dari Lembaga-lembaga lain dan membuat hilangnya checks and balances dalam pemerintahan, juga catatan merah terhadap penegakan hukum (Rule of Law) yang perlu diperbaiki.

Dalam film Dirty Vote 2, beberapa pakar Hukum & Tata Negara menjelaskan adanya rasa tidak percaya diri pada Pemerintahan Prabowo-Gibran yang membuat mereka harus memperkuat otot dengan cara memasukkan kekuatan TNI-Polri kedalam instansi-instansi pemerintahan.

Hal ini tidak sekedar mengabaikan meritokrasi, namun dengan masuknya kekuatan militer dalam instansi pemerintahan mengingatkan kembali terhadap masa lalu orba dengan kecenderungan pemerintahan yang otoriter, sehingga dianggap dapat melemahkan supremasi sipil dan melukai prinsip demokrasi. 

Langkah Kita sebagai Kader Ikatan

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَسِقُونَ
 
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
(QS. Ali Imran (3): 110)

Ayat tersebut menjadi salah satu dasar gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk selalu menyuarakan, mendakwahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam konteks sosial politik hari ini penulis ingin mengingatkan kembali kepada teman-teman akan Trilogi Ikatan yakni “Keagamaan, Kemahasiswaan, dan kemasyarakatan”.

Hal yang sama juga diperjelas dalam salah satu Nilai Dasar Ikatan, bahwa “Segala bentuk ketidak-adilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran adalah musuh besar gerakan IMM, dan perlawanan terhadapnya adalah kewajiban setiap kader IMM”.

Dalam kondisi hari ini penulis ingin menyampaikan pesan bahwa, Ayahanda kita Dr. M. Busyro Muqoddas telah menjadi contoh yang patut kita teladani dalam memegang teguh nilai-nilai Muhammadiyah.

Beliau tidak tinggal diam melihat ketidak-adilan yang terjadi, langkahnya menjadi penjamin penangguh penahanan untuk paul seharusnya menjadi gebrakan bagi kita kader IMM yang mewakili kaum intelektual Muhammadiyah untuk ikut melawan dan menyuarakan ketidak-adilan yang terjadi hari ini.
           

Editor: Ahmad Muharrik Albirra

 
 
 
           
                  
 
 
 
 

 

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA