Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hikayat Wahabi Kepenulisan

Gambar oleh Anastasia lunosheva, diunduh melalui istockphoto.com

Penulis: M. Habib Muzaki (Ketua Umum PK IMM KUF Periode 2021-2022)


Suatu hari di siang yang tidak cerah, burung tidak terdengar berkicau -karena memang tidak ada burung-, terjadi sebuah percakapan antara dua entitas. Mereka adalah Habib Karpov dan Irgy Esteban. Sebenarnya ada pihak ketiga, dialah Muktamarul Huda. Namun pihak ketiga ini hanya diam saja karena sedang menekuni karir sebagai berhala -tentu saja, dia diam sepanjang percakapan.

Percakapan itu terjadi di tempat yang bernama Kantor Koorkom, sebuah base camp dari organisasi yang bergerak di bidang olah-olah, mulai dari olah kata hingga olah proyek dari raja-raja. Tiga puluh tahun lalu, organisasi ini pernah menjadi pusat bagi kegiatan kepenulisan di Benua Wanacala. Mereka menerbitkan Buletin Pembebasan. Buletin ini berisi beragam tulisan, mulai dari berita, esai serius, esai tidak serius, hingga cerpen dari para anggota organisasi.


Awal Mula Buletin

Mereka rutin menerbitkan buletin itu sebulan sekali. Adalah Karpov dan para pengikutnya yang mendirikan buletin itu. Buletin itu pun mampu menghadirkan ekosistem kepenulisan yang ajeg. Esteban sendiri adalah termasuk volunteer yang dikader oleh Karpov untuk merawat buletin setebal 50 halaman tersebut. Singkat cerita, suatu hari Karpov cedera hamstring akibat nekat bermain futsal. Sehingga, ia terpaksa harus undur diri dari jabatan pemimpin redaksi.

Karpov awalnya sangat pede bahwa akan banyak kader yang siap menggantikannya. Sebab selain Esteban, ada banyak nama yang dirasa sanggup melanjutkan estafet penderitaan. Di deretan nama itu, ada Rodi Swagdana, Ulil Goldlaner, Ghinanjar, Muktamarul Huda, Yoga Malaka, Don Fathon, Belly Potter, dan masih banyak lagi. Namun nahas, semua malah memilih jalur politik dan menjadi ketua di pimpinan ranting organisasi ini.

Untungnya, Potter siap mengakusisi kursi panas pemimpin redaksi. Ia pun konsisten menjalankan amanah meski sibuk mempelajari dan mengajarkan les privat bahasa isyarat. Akhirnya, Potter berhasil menuntaskan jabatannya hingga mewariskan estafet itu ke anak didiknya, Agungdinho. Kepemimpinan Agungdinho berjalan cukup lancar hingga amanah rasa penderitaan itu berpindah ke pundak Kenneth Dzulkarnain Madara (KDM).

Namun pada zaman KDM, ekosistem kepenulisan -yang dibangun sejak 19 juta lapangan pekerjaan dijanjikan oleh anak raja- itu pun mulai goyah. Singkat cerita, kabar itu sampai ke telinga Timothy Rizal. Sebagai leluhur yang turut mendirikan buletin itu bersama Karpov pun, Timothy turut prihatin.

Ia ingin turun gunung, namun kesibukannya sebagai CEO Drama Tiongkok Cabang Indonesia pun membuatnya sangat sulit meluangkan waktu. Terlebih tas berisi botol posion yang ia pesan belakangan tertinggal di bagasi kereta listrik dan harus mengurusi banyak prosedur untuk mendapatkannya kembali. Akhirnya, Timothy hanya bisa mengabari Karpov yang saat ini sedang menikmati masa pesiunnya. “Lihatlah, ekosistem literasi kita sedang menurun. Buletin itu kini hanya terbit setahun sekali,” ujar Timothy melalui aplikasi ApaApss.

Karpov membaca pesan itu saat ia sedang liputan di Konohagakure. Sebenarnya Karpov tidak benar-benar pensiun. Ia kembali bangkit setelah operasi kepala dan menjadi reporter tetap untuk media bernama Maklumlah.id yang punya semangat menjadi media nomor satu di Gotham City. Saat membaca pesan itu, Karpov pun langsung memesan ojek offline untuk mendatangi Esteban.

Rupanya, Esteban sudah menjadi pimpinan tertinggi organisasi. Ia kini menyandang gelar Senopati Politico V. Bersama rekan-rekan partainya, yakni Wahyu Fufufafa dan Kurnibilitas, mereka sedang menjadikan organisasi ini untuk mampu menembus lingkaran elite di kekuasaan. Mereka pun melakukan segala cara. Mulai dari menjual kader-kadernya ke politisi hingga menggadaikan nama besar organisasi untuk merapat ke koalisi.

Apa yang dilakukan Esteban et al., ternyata berdampak ke gerakan kepenulisan di organisasi. Esteban yang notabene adalah kader kesayangan Karpov, punya ideologinya sendiri. Ia tidak menganggap kepenulisan adalah hal yang penting. Sebab kepenulisan itu penuh kesengsaraan dan tidak selezat politik praktis. Sejak Karpov hengkang, Esteban pun tidak pernah lagi menulis -kecuali skripsi yang dikerjakan satu hari satu kalimat, itu pun kalau ingat.


Berdebat Panas

Dari Konohagakure, dengan membawa kopi kalcer di tangannya, Karpov pun menuju kantor dengan menembus hujan buatan. Butuh waktu tiga hari tiga malam untuk sampai ke tujuan, sebab rupanya ojek itu menggunakan kendaraan bernama unta. Singkat cerita, saat Karpov datang, ia kaget dengan suasana kantor. Buku-buku sudah tidak ditata dengan rapi, dan koleksi buletin bulanan sudah hilang.

Siang hari di kantor itu, hanya ada Esteban dan Muktamarul. Karpov langsung mengambil posisi, mengunci Esteban yang hendak kabur dengan alasan Ngopag padahal sudah siang hari. Sementara itu Muktamarul, tidak dikunci pun dia sudah mengunci dirinya. Ia lebih berperan sebagai NPC di hampir sepanjang cerpen ini. “Ada gerangan apa wahai Adinda hingga gerakan kepenulisan kita menjadi begini?” tanya Karpov dengan serius.

Muktamarul hanya diam, sebab ia selain fokus berkarir sebagai berhala maupun NPC, ia juga tidak peduli dengan apapun kecuali grup musik favoritnya, IKN48. Hanya Esteban yang mau meladeni kekecewaan Karpov. Ia kembali menegaskan bahwa rezimnya tidak suka menulis. Kecuali menulis naskah akademik untuk kebutuhan keren-kerenan ke lawan politik.

Karpov hanya bisa berzikir sembari mendengar alibi Esteban. Karpov pun menyanggah, dan menegaskan bahwa kepenulisan itu penting. Sebab dengan menulis, maka lahir kekuatan kritis yang bermakna. Menulis tetap penting sebagai esensi, bukan formalitas. Terlebih organisasi ini memperjuangkan terbentuknya akademisi yang mumpuni. Esteban menyebut pemikiran Karpov itu sebagai imajinasi.

“Imajinasi seperti ini, sekarang di dunia mendapat resistensi yang luar biasa. Karena dampak-dampak imajinasi itu negatif. Mencintai kepenulisan itu oke, tetapi kalau Abangda melakukannya dengan cara ekstrim, maka sangat bermasalah,” tegas Esteban.

Esteban pun lantas berkata, bahwa Karpov terlalu berkutat di masa lalu. Padahal di masa ini sudah ada aplikasi bernama ChatGPP hingga Gerimis AI. Semua orang kini bisa menulis dengan mudah. Tidak perlu lagi ada gerakan kepenulisan seperti di masa lalu. Mungkin relevan di masa lalu, tapi sekarang ada yang lebih penting, yakni kursi kekuasaan.

“Memang bahwa kepenulisan tidak bisa memberi kuasa, tapi air mata. Tapi tetap itu adalah pondasi penting Adinda. ChatGPP hanya membantu, tapi kita kalau pola pikirmu seperti itu, kita akan ketergantungan dengan robot. Barangsiapa bisa menulis, maka ia akan tertata cara berpikirnya,” tegas Karpov.

“Tapi Abangda, saat kita punya gerakan kepenulisan yang maju pun, kita masih puasa jabatan strategis. Saat gerakan ini lagi maju-majunya, bahkan saat itu kita sampai diundang untuk makan siang oleh Kantor Berita TempoMu dan mendapat pujian sana-sini, kita masih kalah dalam kontestasi pemilihan Ketua RW,” bantah Esteban.

Karpov hanya bisa terdiam. Memang benar, tapi bukan berarti hal itu saling berhubungan. Sebab sebelum ada gerakan kepenulisan pun, organisasi ini sudah rutin cosplay menjadi Manchester Hotspurs, klub padel asal Singapura itu. Sejak lama, sejak Tanwir Lumajang, organisasi ini sudah selalu kalah di kontestasi politik. Karpov melanjutkan bahwa jika politik memang penting, tapi bukan berarti kepenulisan diabaikan.

Esteban menjelaskan bahwa, membangun ekosistem kepenulisan tidak perlu diurusi serius. Lahan untuk ekosistem itu, harus diganti dengan sesuatu yang mampu mengundang datangnya amplop. Membangun ekosistem kepenulisan sudah tidak relevan. Karpov menimpali, “Pertanyaannya, mana organisasi yang mampu mengembalikan ekosistem kepenulisan setelah larut dan fokus di pemainan politik praktis?”

“Pertanyaan baliknya adalah, kenapa Anda begitu peduli untuk mengembalikan ekosistem awal? Ini saya izin memberi analogi. Saya waktu kecil di ranting saya… saya menikmati ekosistem kepenulisan yang baik. Sekarang karena kebutuhan politis, ekosistem itu hilang. Kader saya tidak lagi bisa menikmati itu. Tapi itu tidak masalah. Kader lebih suka Ir. Soekarno di dompet mereka,” Esteban menimpali.

Karpov berusaha menyanggah. Ia keras menolak ideologi sesat itu. Esteban segera membantah, “Ini yang saya sebut dengan wahabisme itu. Wahabisme itu artinya gini… orang Wahabi itu, begitu kepengennya menjaga kemurnian teks, sehingga teks tidak boleh disentuh sama sekali. Harus puritan. Nah, Anda ini adalah Wahabi Kepenulisan!”

Esteban melabeli Karpov sebagai Wahabi Kepenulisan. Sebab Karpov kekeh agar menjaga kemurnian ekosistem gerakan kepenulisan. Namun upaya menjaga kemurnian itu tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sebab zaman ini butuh jabatan, bukan kepenulisan. Organisasi tidak bisa maju hanya dengan kepenulisan. Harus dijalankan manuver politik yang canggih. Taktis dan praktis. Untuk melakukannya, ekosistem kepenulisan pun jika perlu harus dikorbankan!

Karpov sebenarnya shock dan tidak percaya dengan Esteban yang bisa berubah drastis begini. Ia berharap, semua ini hanya mimpi. Iya, ini semua hanya mimpi, lalu Karpov terbangun di Koorkom dengan perut yang terbuka, lantas kembali beranjak bangun, menjamak ibadah dan menjalani hari-hari mengedit buletin dengan penuh senyum karir. Namun ternyata, ini bukan mimpi. Saking tidak percayanya, teori bahwa Hitler mati di Nganjuk dirasa Karpov lebih masuk akal.

Esteban membalas, bahwa ia juga lebih percaya Billie Elish lahir di Nganjuk, daripada harus percaya bahwa seniornya masih belum berubah. Masih obesitas.. maksudnya masih sok idealis seperti dulu. Sok idealis yang akhirnya hanya membawa Karpov tidak menjadi apa-apa, tidak punya jabatan apapun selain masa lalu. Meski sekarang, Karpov sudah punya doi yang cantiknya melebihi treshold, yang cantiknya sudah ijmak kaum adam.

Esteban lalu sekali lagi membenarkan ideologinya, keyakinannya bahwa menulis sudah tidak relevan. Ia berargumen, bahwa anak-anak sekarang sudah tidak mau menulis. Buktinya, tidak ada yang mengirim tulisan ketika disuruh oleh redaksi. Ada yang mengirim pun, itu hanya beberapa. Karpov lalu menitikan air susu. Iya, susu yang ia pesan barusan tumpah sedikit. Ia lalu menceramahi Esteban.

“Esteban, adikku. Ingat lah dulu. Kami tidak pernah mengejar anak yang tidak mau menulis untuk ikatan meski ia bisa menulis. Kami hanya mengejar mereka yang mau bisa menulis, meski tidak bisa menulis. Mengapa? Karena kita tidak ingin ada kesan paksaan. Mencari yang benar-benar mau belajar tentu sulit,” cerita Karpov.

“Kami harus memasuki gorong-gorong ranting. PDKT dan sok akrab dengan kader baru, yang bahkan tidak satu ranting. Belum lagi meyakinkannya bahwa dia bisa. Memupuk rasa percaya diri di dalam dadanya. Kami benar-benar mencari mereka yang punya kemauan kuat untuk mengentaskan diri dari yatim kepenulisan,” ujar Karpov.

“Kemauan mereka, ditambah kemauan kami untuk mengkader dengan hati, mengorbankan waktu yang aslinya padat dan gaji yang tidak seberapa untuk mengajak ngopi bersama. Itu semua yang membentuk ekosistem ini. Esteban, adikku. Ingatlah, dulu kau juga seperti itu. Anak polos yang bahkan tulisan pertamanya ingin kurevisi dengan ctrl+A, backspace, save, tulis ulang,” imbuh Karpov sembari mati-matian menahan tawa.

“Gerakan kepenulisan kita tidak pernah dibangun dengan menyuruh-nyuruh kader. Gerakan ini dibangun dengan mengajari dengan hati. Bukan mengajari karena merasa paling bisa, tapi berlandaskan spirit belajar bersama. Kalau kepenulisan dibangun dengan menyuruh saja, itu tidak mungkin. Betapa banyak organisasi yang gagal membangun ekosistem itu karena yang menyuruh menulis itu jarang dan bahkan tidak pernah menulis,” jelas Karpov.

“Apalagi ketika hanya bergantung pada pertemuan formal bertajuk kajian kepenulisan. Itu tidak akan maksimal apabila tidak dibarengi pembelajaran kepenulisan secara kultural. Memang sulit mengumpulkan kader-kader di satu tempat untuk belajar bersama, maka dulu kami mendatangi mereka satu per satu. Menculik dan membawanya ke Warkop Rengasdengklok. Begitulah membangun ekosistem kepenulisan, perjuangannya tiada akhir,” masih lanjut Esteban.

“Kita mengajak dengan contoh. Bukan menyuruh-nyuruh, apalagi mengajak membuat buku antalogi dengan HTM 100 ribu. Setelah mencontohkan dan memfasilitasi, kita mengajak dengan hati. Sabar membaca tulisan mentah dari para tunas dan mengarahkan mereka berkali-kali. Mendampingi tidak kenal siang dan malam. Ingat kalau kita dulu mendampingi sampai tulisan kader telah layak terbit. Selama dia tidak menyerah belajar, kita tidak menyerah untuk sabar,” lanjut Karpov.

Karpov terus menjelaskan dengan hikmah, sebab ia memang bercita ingin menjadi Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP). Esteban langsung mengehentikannya agar cerpen ini tidak terlalu panjang. Ia juga mulai mencaci author yang malah memberi porsi bicara yang banyak kepada Karpov… Sebanyak enam alinea berturut-turut, itu tentu sangat nepotisme.

Esteban hanya bisa nye nye nye di depan Karpov. Esteban sudah tidak peduli dan keras dengkul. Perdebatan itu pun berlansung hingga azan Ashar berkumandang. Esteban sudah punya jalan ninjanya sendiri. Karpov pun masih kekeh dengan “kewahabian”-nya. Ia terus melempar kata demi kata, berharap Esteban insaf.

Muktamarul yang sedari tadi mendengarkan, hanya bisa berpikir simpel. “Kalau bisa menjalankan keduanya, kenapa tidak?” begitu gumam Muktamarul di hatinya yang sempit. Muktamarul diam-diam punya caranya sendiri untuk membuat semua model gerakan ada di organisasi ini, ia menyebutnya sebagai… RPJP.

RPJP adalah sebuah dokumen rahasia yang disusunnya bersama Etika van Arabi, Junaidipa Nusantara, dan Raden Mas Paw el-Sukodono. Mereka membentuk perkumpulan yang dinamakan sebagai Iluminati. Namun Muktamarul masih memilih diam dan menunggu waktu yang tepat untuk bermanuver. Begini-begini, Muktamarul adalah alumni Sekolah Kepemimpinan Nasional (SKN) Angkatan Pertama! Ia tentu lihai dan sudah teruji klinis.

Ia sedang menyiapkan diri sebagai reformis yang memimpin organisasi menuju perubahan dan pencerahan. Baginya, gerakan kepenulisan itu penting, gerakan politik juga. Jawaban atas masalah-masalah yang diperdebatkan oleh Karpov dan Esteban, tidak bisa didapat dengan menabrakkan keduanya.

Baginya, mereka harus membaca ulang Pengantar Filsafat Ilmu karya Jujun Suriasumantri untuk merapikan cara berpikir. Oleh karenannya, bagi Muktamarul, ia merasa perdebatan itu tidak penting. Sebab yang paling penting baginya sekarang adalah… 19 juta lapangan pekerjaan yang dijanjikan.


Editor: Iskandar Dzulkarnain

 


Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA