Kalau Tak Bisa Beri Makan, Beri Kami Kafan Saja
Penulis: Billy Ahmad Rajasa (Anggota RPK PK IMM Al-Farabi)
Kalau Tak Bisa Beri Makan, Beri Kami Kafan Saja
Di posko itu,
bantuan katanya sudah datang
tapi berdiri di depan kami
bukan karung beras,
melainkan meja administrasi
dengan spidol dan map cokelat.
“Tunjukkan KK dan KTP," begitu katanya,
seakan-akan banjir sempat memberi kami waktu
menyelamatkan dompet sebelum menyelamatkan nyawa.
Seakan-akan gelombang itu tahu
mana warga yang sah dan mana yang tidak terdata.
Jika tak bisa memberi kami makanan,
tolong jangan beri kami prosedur.
Karena perut tidak bisa diisi
dengan nomor NIK dan stempel kelurahan.
Kami tidak butuh kalimat panjang,
tidak butuh janji yang dititipkan lewat mikrofon.
Kami hanya butuh bertahan.
Dan jika itu pun terlalu sulit,
jika logistik terhalang kertas-kertas identitas
beri kami kain kafan saja.
Setidaknya itu tidak perlu tanda tangan.
Sebab saat banjir datang,
yang hanyut bukan hanya rumah kami,
tapi semua dokumen yang kalian anggap
lebih penting dari hidup manusia.
Di tengah bencana,
kami belajar satu hal yang pahit:
nyawa kami lebih ringan
daripada selembar kartu plastik
yang bahkan sudah terbawa arus.
seakan-akan banjir sempat memberi kami waktu
menyelamatkan dompet sebelum menyelamatkan nyawa.
Seakan-akan gelombang itu tahu
mana warga yang sah dan mana yang tidak terdata.
Jika tak bisa memberi kami makanan,
tolong jangan beri kami prosedur.
Karena perut tidak bisa diisi
dengan nomor NIK dan stempel kelurahan.
Kami tidak butuh kalimat panjang,
tidak butuh janji yang dititipkan lewat mikrofon.
Kami hanya butuh bertahan.
Dan jika itu pun terlalu sulit,
jika logistik terhalang kertas-kertas identitas
beri kami kain kafan saja.
Setidaknya itu tidak perlu tanda tangan.
Sebab saat banjir datang,
yang hanyut bukan hanya rumah kami,
tapi semua dokumen yang kalian anggap
lebih penting dari hidup manusia.
Di tengah bencana,
kami belajar satu hal yang pahit:
nyawa kami lebih ringan
daripada selembar kartu plastik
yang bahkan sudah terbawa arus.
Apa yang Kita Harapkan?
Apa yang kita harapkan,
dari negeri yang sibuk membuat janji tapi lupa membuka catatan?
Dari kursi-kursi empuk yang lebih sering dipakai tidur,
ketimbang dipakai berpikir untuk rakyat yang masih antre beras murah?
Apa yang kita harapkan,
saat suara kami hanya dianggap notif yang bisa di-swipe?
Demokrasi katanya hidup
tapi kok rasanya cuma denyut lemah yang dipaksa terlihat kuat di layar TV?
Apa yang kita harapkan,
dari tangan-tangan yang demi rakyat katanya bergerak,
padahal yang lebih lincah justru amplop, proyek, dan tanda tangan?
Kami hanya dapat melihat dari jauh, sambil pura-pura tidak muak.
Apa yang kita harapkan,
kalau setiap kritik dianggap angin ribut,
dan setiap janji tinggal arsip yang tak pernah dibuka?
Mungkin… yang tersisa hanya harapan itu sendiri
yang semakin tipis, tapi tetap kami genggam,
karena apa lagi yang boleh kami punya
Tidak Pernah Belajar IPA
Air naik sampai dada,
rumah hanyut, pohon tumbang, jalan hilang
namun di atas panggung yang terang benderang,
ada suara yang berkata:
“Sawit adalah karunia.”
Mungkin beliau lupa,
dari karunia siapa hutan itu hilang.
Di Sumatra, tanah pecah karena serakah,
gunung runtuh karena dipaksa berubah,
sungai sesak oleh yang tidak pernah dihitung
tetapi berita pagi justru bicara keuntungan,
seolah bencana hanyalah iklan sampingan.
Empati? Mungkin sedang cuti.
Sementara itu, pemerintah ikut-ikutan galang donasi,
seakan APBN hanyalah mitos dari buku pelajaran lama.
“Bantu saudara kita!” katanya,
tapi lupa bahwa kitalah yang bayar pajak
untuk dana darurat yang entah mengalir ke mana.
Mereka FOMO, kami basah kuyup
lalu siapa sebenarnya yang harus menyelamatkan siapa?
Dan di tengah semua ini,
aku berpikir:
apakah mereka tidak pernah belajar IPA?
Tentang air yang mencari jalannya sendiri,
tentang akar yang menahan tanah,
tentang hutan yang bukan sekadar lahan,
tentang sebab yang selalu membawa akibat
meski akibatnya hanya dirasakan
oleh mereka yang tak pernah masuk berita.
