Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Pemberdayaan Hanya menjadi Kehadiran: Menyoal Peran Kader IMM dalam Gerakan Sosial

Dokumentasi Kegiatan Ruang Pemberdayaan Batch III IMM Surabaya
Penulis: Aulia Salsabila (Ketua Bidang Sospemas PK IMM Al-Farabi)

Pemberdayaan masyarakat sering kali terdengar sebagai istilah yang sederhana, tetapi kenyataannya jauh lebih dalam daripada sekadar memberi bantuan atau turun ke lapangan. Pemberdayaan adalah proses di mana individu maupun komunitas memperoleh kontrol atas kehidupan mereka (Rappaport, 1984; Zimmerman, 2000).

Ia lahir dari kesadaran bahwa masyarakat bukan objek yang harus “diselamatkan,” melainkan subjek yang memiliki hak dan potensi untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

“Pemberdayaan” menurut KBBI berarti membuat seseorang atau kelompok menjadi lebih mampu dan berdaya. Namun ketika diterapkan dalam konteks sosial, istilah ini menjadi lebih kompleks. 

Bagaimana gerakan sosial bisa memastikan masyarakat tidak hanya menerima bantuan, tetapi juga memiliki kesempatan untuk bersuara, mengambil keputusan, dan membangun kemandirian? Pertanyaan itu menjadi pusat dari setiap langkah yang diambil dalam program-program kolaboratif.

Dari pengamatan langsung, saya menyadari bahwa perubahan tidak pernah lahir dari satu pihak saja. Selalu ada energi besar ketika berbagai kelompok bergerak bersama: mahasiswa dengan gagasan idealisnya, perangkat desa yang memahami kondisi nyata, ibu-ibu PKK dengan pengalaman lokal, pemuda desa yang bersemangat menghadapi keterbatasan, hingga lembaga sosial yang memberikan dukungan strategis. 

Sinergi inilah yang menjadi denyut utama pemberdayaan: ruang di mana ide bertemu realitas, empati bertemu aksi, dan mimpi bertemu usaha sehari-hari.

Gerakan sosial yang hidup tidak hanya berbicara tentang advokasi. Ia berbicara tentang membangun jembatan antara pengetahuan dan kebutuhan, idealisme dan kenyataan, serta antara keberanian individu dan kepentingan kolektif. 

Misalnya, saat kader IMM mendampingi anak-anak belajar, mereka tidak hanya mengajar; mereka juga belajar dari cara anak-anak itu menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana dalam pembelajaran.

Begitu pula saat warga desa berbagi pengalaman mereka dalam mengelola usaha rumahan, mahasiswa belajar menyesuaikan pendekatan agar program relevan dan berkelanjutan. 

Dari pengalaman di lapangan mengajarkan saya, bahwa perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil. Sederhana, tetapi berdampak.

Misalnya, mengajak dialog warga untuk memahami kebutuhan mereka, mendampingi anak-anak belajar membaca dan berhitung, mendengar curahan pengalaman ibu rumah tangga yang ingin mengembangkan usaha, atau membantu pemuda desa merancang program ekonomi kreatif.

Kegiatan-kegiatan ini saya laksanakan pada bulan 15-24 Juli 2024, di Desa Drenges Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro, sebagai bagian dari program pengabdian masyarakat.

Dalam kurun 10 hari tersebut, setiap pekan kami hadir di balai desa, rumah-rumah warga, hingga pos ronda untuk berdialog, mengajar, dan menyiapkan program ekonomi kreatif bersama pemuda desa.

Namun, pemberdayaan tidak selalu berjalan mulus. Ada struktur sosial yang kaku, budaya yang menormalisasi ketimpangan, dan sistem yang membatasi partisipasi mereka yang lemah. 

Beberapa suara perempuan, pemuda, buruh, dan kelompok minoritas masih sering terpinggirkan. Dalam situasi seperti ini, gerakan sosial berperan sebagai penghubung, memastikan tidak ada suara yang hilang dan semua kelompok memiliki ruang untuk berpartisipasi.

Dari pengalaman di lapangan mengajarkan saya, bahwa perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil. Sederhana, tetapi berdampak.

Misalnya, mengajak dialog warga untuk memahami kebutuhan mereka, mendampingi anak-anak belajar membaca dan berhitung, mendengar curahan pengalaman ibu rumah tangga yang ingin mengembangkan usaha, atau membantu pemuda desa merancang program ekonomi kreatif. 

Hal-hal kecil ini bila dilakukan secara konsisten akan menyatu menjadi gelombang besar perubahan sosial. Dalam proses ini, kita juga belajar untuk bersikap rendah hati.

Masyarakat adalah guru terbaik. Mereka memperlihatkan bahwa kekuatan tidak selalu datang dari gelar atau jabatan, tetapi dari ketekunan, kreativitas, dan keberanian menghadapi realitas sehari-hari.

Ketika mahasiswa atau relawan belajar dari warga, proses pemberdayaan menjadi dua arah: bukan hanya mengajar, tetapi juga belajar menghargai perspektif dan pengalaman lokal.

Sebagai kader gerakan, kita ditantang untuk terus bertanya: bagaimana kontribusi kita benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat? Bagaimana sinergi yang dibangun bisa berkelanjutan dan relevan? Bagaimana setiap langkah yang diambil tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar retorika; mereka adalah panduan untuk memastikan gerakan sosial tidak kehilangan arah.

Dalam refleksi gerakan kader IMM, pemberdayaan bukan sekadar kegiatan sosial yang sporadis, melainkan amanah moral dan ideologis. Trilogi IMM religiusitas, intelektualitas, dan humanitas menjadi dasar mengapa gerakan ini harus hadir secara nyata di tengah masyarakat.

Religiusitas menuntun kader untuk turun ke lapangan dengan niat ibadah: membantu sesama adalah bentuk kesalehan sosial. Intelektualitas mengarahkan setiap program agar berbasis pengetahuan, data, dan analisis, bukan sekadar aksi tanpa arah. 

Sedangkan humanitas memastikan bahwa setiap gerakan berpihak pada kemanusiaan dengan cara menghargai martabat warga, mendengar suara mereka, dan mengajak mereka terlibat sebagai subjek perubahan. 

Dengan Trilogi ini, pemberdayaan menjadi gerakan yang tidak hanya “hadir,” tetapi bermakna, berkelanjutan, dan bertanggung jawab secara moral serta sosial. Pada akhirnya, inti dari pemberdayaan masyarakat adalah keberlanjutan, kesabaran, dan konsistensi. 

Ia bukan tentang siapa yang paling terlihat, tetapi tentang siapa yang paling bertahan untuk terus bergerak, merawat harapan, dan memastikan masyarakat memiliki kuasa atas hidupnya sendiri. 

Sinergi gerakan sosial adalah ikhtiar kolektif untuk menciptakan masa depan yang lebih adil, bukan hanya bagi generasi sekarang, tetapi juga bagi mereka yang akan datang.

Momen paling menyentuh bagi saya adalah ketika melihat warga yang awalnya ragu atau takut berbicara, perlahan mulai aktif dalam perencanaan program desa. 

Mereka mulai mengajukan ide, merancang solusi, dan menilai hasil kerja bersama. Di saat itu, kita menyadari: pemberdayaan bukan sekadar kegiatan atau proyek; ia adalah proses membangun keberanian, kesadaran, dan kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri. 

Kolaborasi antarorganisasi juga memperkuat dampak pemberdayaan. Setiap pihak membawa perspektif berbeda pengetahuan akademik, pengalaman lokal, akses jaringan, atau keterampilan teknis yang jika dikolaborasikan menghasilkan strategi yang lebih efektif. 

Semakin banyak pihak yang terlibat, semakin besar kemungkinan perubahan itu bertahan lama dan relevan bagi masyarakat.

Sinergi gerakan sosial menunjukkan bahwa ketika berbagai pihak bersatu, perbedaan latar belakang, posisi, atau pengalaman bukan menjadi penghalang, melainkan kekuatan. 

Dengan kolaborasi, empati, dan keberanian untuk turun langsung ke lapangan, masyarakat bisa menjadi lebih berdaya, mahasiswa bisa belajar lebih bijak, dan gerakan sosial bisa terus hidup, relevan, dan membawa perubahan nyata.


Editor: Restu Agung Santoso

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA