Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menulis Sebagai Kerja Peradaban

Gambar dibuat oleh artificial intellegence

Penulis: Iskandar Dzulkarnain (Ketua Bidang RPK PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)


Tiga puluh milenium yang lalu sekawanan manusia mungkin sedang berjalan menyisiri pepohonan sambil mengamati sekitar untuk menangkap sejumlah rusa. Tak lupa mereka juga mungkin bersembunyi dari pandangan singa ataupun macan. Seorang memimpin jalan di depan, seorang lagi menjaga di barisan paling belakang. 

Selepas pulang, mereka menyantap hasil buruan bersama-sama di depan tenda penginapan. Tak lupa mungkin mereka juga menyisakan bagian kepala rusa untuk dihadiahkan kepada pohon besar yang tertanam di belakang tenda. 

Kehidupan mereka tampaknya sederhana. Pagi hari berangkat berburu, kemudian siang kembali untuk menyantap hasil buruannya. Aktivitas demikian berulang-ulang setiap hari. Tidak mengenal apapun benda-benda modern yang kita kenal hari ini. Pikiran kita tampaknya juga tidak mampu untuk membayangkannya. 

Sekitar dua puluh milenium kemudian kehidupan mereka berubah. Mereka tidak lagi berburu rusa, melainkan sudah menanam dan memanen tumbuhan. Mereka sudah tinggal di rumah, tidak lagi tinggal nomaden. Revolusi Pertanian.

Perubahan itu merambah pada semua kehidupan manusia. Cara mereka berpikir masa depan; sebelumnya mereka hanya menyimpan sebagian daging rusa untuk dimakan esok hari. Selebihnya, mereka berburu kembali. Keyakinan mereka; sebelumnya mereka mungkin memuja api, pohon besar, bintang, bulan atau apapun itu yang melindungi mereka ketika malam hari dalam peristirahatan.

Setelah Revolusi Pertanian, seorang petani harus menimbun sebanyak-banyaknya hasil panen karena musim depan mungkin adalah musim paceklik. Para petani mungkin juga mulai menambahkan matahari sebagai "tuhan" yang menyuburkan tanah-tanah mereka. 

Meski demikian, manusia belum mengenal “pengetahuan”. Teknik belajar waktu itu masih melalui pengalaman yang berulang. Penyampaian pelajaran juga mengandalkan sistem oral. Sumber pengetahuan masa itu adalah ingatan: nasehat-nasehat dan cerita-cerita yang disampaikan oleh orang-orang tua. Tidak ada buku, koran, bahkan juga tulisan. Mereka belum mengenalnya. 


Awal Mula Manusia Mengenal Tulisan

Mula-mula manusia menggambar suatu objek yang mewakili objek nyatanya. Misal, gambar rusa yang mewakili rusa sendiri. Sistem tulisan itu dikenal dengan piktogram. Gambar-gambar mewakili objek nyatanya langsung. Tulisan ini banyak ditemui biasanya di arca-arca kuno. 

Selanjutnya manusia menciptakan gambar ataupun simbol yang disepakati bersama yang mewakili suku kata, kata, atau bahkan konsep abstrak tertentu. Sistem tulisan ini disebut dengan ideogram seperti yang masih terdapat di Cina. Ideogram pertama kali ialah aksara Paku yang diciptakan oleh Bangsa Sumeria 5.500 tahun yang lalu. Mereka memakainya untuk kebutuhan pembukuan atau administrasi. 

Barulah ribuan tahun kemudian manusia mulai menciptakan tulisan alfabet. Secara historis, penemuan tulisan alfabet tidak dapat dikaitkan dengan suatu bangsa tertentu. Penemuannya melalui proses historis kolektif yang melibatkan beberapa bangsa seperti Bangsa Semit yang mengawali penciptaan simbol yang mewakili bunyi, tidak lagi kata. Kemudian disebarkan dan disempurnakan oleh bangsa Fenisia hingga lahirlah berbagai alfabet: Yunani, Latin, Arab, dan Ibrani.

Apapun itu, penemuan sistem penulisan memberikan wajah baru bagi peradaban manusia. Ketika bangsa Sumeria menggambar suatu objek, mereka tidak hanya menggambar, melainkan mengalami dunia. Itu adalah peristiwa peralihan ontologis dari dunia yang awalnya hanya sekadar hidup dalam ingatan, menuju dunia yang dapat “dibekukan”. 

David C. Lindberg dalam The Beginnings of Western Science (2007) mengungkapkan bahwa penemuan sistem tulis-menulis, terutama alfabetis, memungkinkan pencatatan tradisi lisan, mengubah sinyal suara yang mudah berlalu menjadi objek visual yang abadi. Tulisan menjadi penyimpan utama pengatahuan yang abadi menggantikan memori yang mudah hilang. 

Lahirnya sistem penulisan memberikan ingatan kepada manusia tentang peradaban-peradaban terdahulu. Pikiran manusia terbantu untuk mengetahui sejarah panjang hidup manusia. Meski demikian, pasca penemuan sistem penulisan alfabet, kekuatan tulisan terhadap peradaban baru saja dimulai.


Permulaan Peradaban Besar Manusia

Peradaban besar tidak dimulai ketika manusia telah menciptakan gedung-gedung tinggi ataupun teknologi canggih. Ia bermula ketika manusia mulai beralih dari sistem oral ke sistem tulis menulis. Memori ingatan diganti dengan tulisan yang mampu menyimpan informasi sangat besar. 

Kata peradaban sendiri memberikan gambaran kepada kita suatu masa pada sejarah manusia yang telah berkembang dan berkemajuan dari segala aspek kehidupan. Masa yang beralih dari kehidupan nomaden, ke kehidupan yang seutuhnya tinggal di suatu wilayah. Di wilayah tersebut mereka telah bertetangga bahkan telah berdiri kota ataupun negara, dan memiliki budaya yang kompleks. 

Kehidupan baru yang kompleks itu mustahil terjadi tanpa bantuan tulisan. Negara membutuhkan arsip administrasi, perpajakan, serta kodifikasi undang-undang, seperti undang-undang tertua yaitu undang-undang Hammurabi. Hukum tidak lagi bergantung pada aturan leluhur ataupun tetua masyarakat. 

Ingatan manusia tidak mampu mengingat arsip sepuluh juta nama manusia yang harus membayar pajak. Itu sangat mustahil. Namun, tulisan mampu menggantikan itu serta mudah dan efektif dalam menyimpan dan mengelola berbagai informasi-informasi semacam itu. 

Lebih jauh, tulisan memberikan cara baru bagi pengetahuan. Pengetahuan sebelumnya melekat dengan fisik dan pengalaman manusia. Penyampaian pengetahuan mengandalkan lisan satu ke lainnya. Penyampaian seperti itu sangat memungkinkan adanya penyimpangan atau kesalahan informasi. 

Lahirnya tulisan menjadikan pengetahuan milik seluruh umat manusia. Ia dilestarikan melalui objek yang tak lekang waktu seperti lempung, batu, diding gua dan tulang, hingga akhirnya kertas. Tak hanya itu, tulisan menjadikan pengetahuan mampu dikoreksi, dikritik, dievalusi kembali. Pada akhirnya tulisan memberikan ruang bagi manusia untuk “berdialog” dengan masa lalu. 

Bayangkan sekiranya pada masa Plato dan Aristoteles belum mengenal tulisan apapun, maka boleh dikatakan tidak akan pernah ada Renaissans, Aufklarung, bahkan modernisme. Karena itulah Alfred North Whitehead dalam Process and Reality (1978) mengatakan bahwa seluruh tradisi filsafat Barat sebenarnya merupakan catatan kaki bagi Plato.

Dari semua di atas, pada akhirnya tulisan memberikan arah baru bagi kehidupan manusia. Sistem filsafat, ekonomi, agama, dan segala unsur-unsur utama dalam kehidupan manusia tidak akan pernah bisa berdiri sendiri. 

Bayangkan saja para Bapak dalam agama Kristen tidak menulis Bibel, atau bahkan Abu Bakar enggan untuk menuliskan Al-Quran, maka boleh dikatakan bahwa tidak akan pernah ada orang-orang yang melaksanakan Natal dan Salat pada masa sekarang. 

Boleh juga kita mengatakan bahwa menulis adalah kerja peradaban. Pasalnya, setiap perkembangan dan perubahan baru di dunia ini, tidak pernah luput dari pengaruh tulisan. Ilmu yang paling utama. Ia akan sukar diketahui oleh banyak orang jika hanya disampaikan dari mulut ke mulut.

Satu contoh lain, terkait sesuatu yang paling penting dalam kehidupan manusia sekarang, alat-alat medis yang canggih. Bayangkan jika Abu Al-Qasim Al-Zahrawi tidak menulis dan menjelaskan alat-alat bedah dalam kitabnya Al-Tasrif. Sistem medis hari ini sangat terbantu dengan penemuannya. 

Banyak hal jika kita berbicara kekuatan tulisan sebagai penggerak peradaban. Usaha itu pun mungkin sama dengan maksud Allah dalam surah al-Kahfi ayat 109 “Niscaya habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Tuhanku selesai ditulis meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.”

Niscaya habislah lautan itu sebelum kita selesai menulis pengaruh dari tulisan.


Editor: Ahmad Muharrik Albirra







Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA