Narasi Setara: Refleksi Immawati tentang Gender dan Gerakan IMM
![]() |
| Dokumentasi Kegiatan Diskuswati PC IMM Surabaya |
Kesetaraan sering kali terdengar sebagai konsep yang sederhana, namun pada kenyataannya kata ini begitu “abu-abu” di telinga banyak orang.
“Setara," menurut KBBI, berarti sejajar, sama, dan sepadan. Tetapi ketika kata ini dipasangkan dengan “gender”, ia menjadi lebih kompleks. Lalu apa sebenarnya gender itu? Mengapa pembicaraannya mampu menggeser, bahkan menantang, pemahaman kita tentang kesetaraan?
Dalam praktik sosial, gender tidak pernah benar-benar netral. Stereotipe yang melekat pada perempuan—mudah menangis, lemah lembut, penuh kasih—berlawanan dengan stereotip laki-laki yang dianggap kuat, tangguh, dan pekerja keras.
Stereotipe seperti ini bukanlah ciri kodrati, melainkan konstruksi budaya yang diwariskan sejak generasi nenek moyang kita. Inilah yang membuat gender sering menjadi sumber diskriminasi: ia memaksa kita menerima peran tertentu yang sebenarnya tidak selalu sesuai dengan realitas individu.
Karena itu, upaya mewujudkan kesetaraan gender bukanlah tentang menjadikan laki-laki dan perempuan bersaing untuk menentukan siapa yang lebih unggul.
Justru sebaliknya, kesetaraan adalah upaya memastikan bahwa setiap gender mendapatkan hak, peran, ruang, dan kesempatan yang adil sesuai kebutuhan masing-masing, tanpa menghapus identitas atau kodrat.
Hidup tidak dimaksudkan untuk berlomba-lomba menaklukkan satu sama lain, tetapi untuk bekerja sama, saling melengkapi, dan berdaya bersama.
Banyak orang—terutama mereka yang masih terjebak bias patriarkal—menganggap bahwa gagasan kesetaraan gender yang dibawa oleh feminisme akan merusak kodrat perempuan.
Mereka beranggapan bahwa perempuan yang bersuara, berpendidikan tinggi, mengambil peran publik, atau menyuarakan keadilan berarti meninggalkan “kodrat kewanitaannya”. Padahal pandangan seperti ini justru keliru.
Mari kita renungkan QS. Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ
Ayat ini sering disalahpahami seolah-olah melarang perempuan tampil atau berperan di ruang publik. Padahal, jika dilihat dari asbābun nuzūl, ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai pedoman perilaku bagi perempuan di tengah situasi masyarakat Jahiliyah yang rawan kekerasan dan peperangan.
Tujuan ayat itu adalah memberikan perlindungan, keamanan, dan kemuliaan terhadap perempuan, bukan membatasi kemampuan mereka untuk berkembang, belajar, atau berkontribusi bagi masyarakat.
Namun, dalam praktik sosial hari ini, ayat tersebut justru sering dijadikan alat untuk membungkam suara perempuan, bahkan menghalangi mereka dari pendidikan, karier, dan ruang kepemimpinan.
Inilah bentuk bias gender yang dijelaskan dalam hal: ketika pengalaman perempuan diabaikan, ketika budaya patriarki dibungkus dengan dalil, dan ketika perempuan dibentuk menjadi objek moral, bukan subjek yang memiliki akal, nilai, dan kehendak.
Diskuswati hari ini membuka mata saya bahwa perjuangan kesetaraan gender bukan hanya urusan perempuan. Immawati dan Immawan sama-sama perlu memahami realitas sosial ini agar tidak terus-menerus mereproduksi ketidakadilan yang diwariskan.
Kesetaraan gender dalam perspektif Islam tidak pernah dimaksudkan untuk menyeragamkan laki-laki dan perempuan, tetapi memberikan keadilan sesuai kebutuhan setiap gender.
Keadilan yang dimaksud bukan berarti sama rata, tetapi setara dalam martabat, peluang, dan hak, sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan praktik kehidupan Nabi.
Di tengah masyarakat yang semakin kompleks—maraknya kekerasan berbasis gender, bias dalam regulasi, stereotipe media, hingga ketidaksetaraan ekonomi—pemahaman mengenai gender menjadi fondasi penting untuk membangun generasi yang peka, kritis, dan berkeadaban.
Materi seperti epistemologi gender, bias gender, strategi advokasi, hingga ecofeminisme mengajak kita berpikir bahwa ketidakadilan tidak hanya terjadi di rumah tangga, tetapi juga pada level sosial, struktural, bahkan ekologis.
Refleksi Pribadi
Diskuswati ini membuat saya memahami bahwa menghapus bias gender tidak cukup dengan menjelaskan perbedaan antara sex dan gender. Lebih dari itu, kita harus menyadari struktur sosial yang membentuk cara kita memandang perempuan dan laki-laki.
Kita perlu membangun keberanian untuk bertanya, “Apakah ini kodrat atau konstruksi sosial?” “Apakah ini ajaran agama atau interpretasi budaya?” “Apakah ini pilihan saya atau paksaan masyarakat?”
Kesetaraan gender bukan sekadar wacana, tetapi gerakan untuk membebaskan manusia dari belenggu stigma dan diskriminasi. Dan bagi saya, inilah inti dari menjadi kader IMM: bergerak, berdaya, berpihak pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menutup refleksi ini, saya merasa perlu kembali bertanya pada diri sendiri: setelah memahami begitu banyak dinamika tentang gender, peran perempuan, dan bias sosial yang masih berjalan, bagaimana saya dapat menerjemahkan seluruh pembelajaran ini menjadi tindakan nyata dalam ruang IMM—menjadi Immawati yang lebih peka, lebih berdaya, dan lebih siap memperjuangkan kesetaraan?
Editor: Restu Agung Santoso
