Sawit: Istri dari Masa Depan (1)
![]() |
| Gambar dibuat oleh Artificial Intellegence |
Pagi itu, suasana hening menyelimuti Tambaksari, sebuah pedesaan di suatu negara bernama Majapahit. Kabut menggantung rendah di atas sawah, seperti napas panjang yang belum selesai. Pematang masih basah oleh embun, menyimpan jejak kaki kerbau yang semalam pulang lebih dulu dari para manusia. Padi-padi muda berdiri rapat, hijau pucat, bergoyang pelan ketika angin dari gunung lewat tanpa permisi.
Sebuah rumah kayu berdiri di antara suasana itu, berjejeran dengan rumah-rumah yang nampak tenang lainnya. Seorang mahasiswa Magister Filsafat bersiap tidur. Namanya Farahudin. Orang-orang biasa memanggilnya “Fa”. Ia sendiri bukan warga asli sana. Ia adalah mahasiswa dari negara Sokovia. Kehadirannya di desa ini adalah dalam rangka menyelesaikan risetnya yang berjudul “Perjumpaan Dengan Goblin: Sebuah Studi Fenomenologis".
Semalaman penuh, ia sibuk merapikan transkrip data wawancara yang diambil dari warga setempat. Ia sudah mewawancarai setidaknya 39 warga. Hanya tinggal diolah dan dianalisis, kemudian pulang ke Sokovia untuk menemui dosen pembimbingnya yang terkenal killer. Dialah Dr. Kenneth al-Megilani, profesor muda asal Uruguay. Tapi itu tidak penting. Sebab yang paling mengganggu bagi Fa saat ini bukanlah risetnya, melainkan sebuah surat dari rekan-rekannya di organisasi yang bernama Freemason Student Association (FSA).
FSA adalah organisasi nirlaba yang cukup tidak populer di negeri asalnya. Sekumpulan organisasi berisi para mahasiswa yang fokus memperjuangkan rakyat. Meski kurang populer, namun organisasi ini punya pengaruh yang cukup kuat. Salah satu kadernya yang bernama Felix Moeghti menjadi Menteri Pendidikan Sokovia. FSA sendiri punya struktural organisasi dari fakultas di sebuah kampus hingga nasional. Fa sendiri pernah menjadi ketua umum di salah satu FSA di tingkat fakultas.
Kini, FSA di tingkat kota akan mengadakan musyawarah tahunan dalam rangka regenerasi struktural. Fa sendiri diminta oleh rekan-rekan seangkatannya maupun para adik kelasnya untuk maju dalam pemilihan formatur pada musyawarah tersebut. Sebab FSA di fakultasnya sangat membutuhkan sosok representatif yang mampu meningkatkan kualitas program dan kinerja organisasi di tingkat kota.
Fa bukannya tidak mau, tapi ia sangat tidak mau. Ia sudah muak dengan organisasi semacam itu. Hanya berisi orang yang malas belajar tapi sok membela rakyat. Kader-kadernya, membaca buku saja masih malas, apalagi diajak menulis gagasan akademik. Sebuah ekosistem yang kurang mendukung bagi dirinya. Terlebih, tekanan karier yang ia hadapi sekarang, membuatnya enggan untuk menjadi aktivis.
Namun ia juga berat menolak tawaran itu. Sebab yang meminta adalah rekan seperjuangannya serta adik-adiknya yang dulu ia bimbing. Ikatan emosional yang sudah terbentuk, membuat Fa bimbang dengan permintaan tersebut. Lalu di kepalanya, teringat masa-masa perjuangan bersama teman-temannya yang indah.
Salah satunya saat dulu mengadakan agenda diskusi, yang hadir hanya tiga orang. Atau saat membuat sebuah majalah, Fa terpaksa menulis karena dipaksa pemrednya demi mengejar deadline. Atau saat organisasi kekurangan dana, ia menyebar proposal sendirian ke segala penjuru kota. “Tunggu dulu, di mana letak keindahannya?” ujar Fa dalam hati.
Fa hanya bisa terus larut dalam kebimbangannya. Ia memutuskan untuk segera memejamkan mata. Tak lama, ia langsung terlelap. Laki-laki kurus dan berambut cepak itu kemudian larut dalam mimpinya. Ia bermimpi menikah dengan seorang perempuan, sebuah momen yang menyenangkan. Pesta pernikahan itu dihadiri oleh rekan-rekannya. Salah satunya ada yang bernama Goenawan Muzaki, pemrednya dulu.
Sekejap kemudian, suasana menjadi muram. Semua orang, termasuk istrinya seketika menjadi boneka dengan wajah yang seram. Wajah mereka seketika menjadi kaku. Bola mata mereka menjadi bulat sempurna. Mereka diam di tempat dan seakan terperangkap dalam waktu yang berhenti. Lalu seketika semua benda di sekitar Fa terbakar. Sementara itu, Goenawan hanya tertawa. Lalu tubuhnya hancur, sebuah robot yang tangannya bercapit keluar dari dalamnya.
Fa yang ketakutan tersungkur, lalu seketika bangkit dan berlari. Namun, secepat apa pun ia berlari, sekeras apa pun ia menekuk kakinya, tubuhnya tetap bergerak dengan lambat seperti berjalan di lumpur tebal. Di belakang, robot Goenawan mengejar Fa sembari mengarahkan kedua capitnya yang siap menerkam. “Ayo menulis,” bunyi robot itu berkali-kali sambil terus tertawa dan mengejar Fa.
Fa lantas terbangun dengan napas tersengal. Jam di samping tempat tidurnya sudah menunjukkan pukul 17.08 petang, dan kepalanya masih berdenyut akibat mimpi tadi, meninggalkan sisa rasa aneh yang sulit dijelaskan. Namun yang membuat paginya lebih aneh adalah, tiba-tiba seorang perempuan duduk di kursi belajar dekat tempat tidurnya. Fa langsung terbangun. Wajahnya sempurna melukiskan keheranan.
Perempuan itu berambut terurai panjang, hitam dan lurus. Matanya tajam, bibirnya merah alami, menyungging senyuman lembut yang akan membuat siapa pun takjub. Ia mengenakan blouse biru sederhana, duduk dengan tenang sambil memandangi Fa yang kini berdiri setengah ketakutan. “Hai, aku Sawit, istri kamu dari masa depan,” ujar perempuan itu dengan tenang.
“Tunggu dulu, percakapan macam apa ini? Bukankah suasana ini… terasa seperti plagiat?” gumam Fa dalam hati. Ia segera mencari ponselnya dan menelepon polisi. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil polisi berhenti dan parkir di halaman rumahnya. Perempuan itu, Sawit, lalu dibawa pergi. Di jendela, Fa memandangi mobil polisi itu pergi menjauh. Namun, wajah perempuan itu seperti tidak asing. Matanya lalu terbelalak. Perempuan itu sama persis seperti pasangannya di mimpi barusan.
Ia kembali merebahkan diri di tempat tidur. Memilih menunggu hasil laporan polisi saja. Fa kemudian meraih handphone-nya. Ada banyak notifikasi. Salah satunya dari Binomo, adik kelasnya di fakultas yang kembali mempertanyakan kesediaan Fa untuk dicalonkan sebagai formatur. Fa enggan untuk membalasnya. Ia kemudian memilih berlayar di sosial media.
Banyak berita-berita yang sedang trending. Salah satu yang banyak disorot adalah tentang rencana pemerintah Sokovia melakukan deforestasi untuk pembukaan lahan kelapa sawit dan jutaan hektare lahan hutan untuk pangan dan energi. Banyak aktivis dan LSM yang mengkritik rencana itu, dengan menarasikan bahwa krisis iklim di Sokovia akan semakin parah. “Perlawanan yang sia-sia,” ujar Fa.
“Baca apa? Serius banget,” ujar Sawit, tiba-tiba muncul sambil memegang gagang pintu yang sudah terbuka. Fa berteriak, mempertanyakan mengapa Sawit bisa ada di sini lagi, dan bertanya-tanya ke mana polisi yang tadi datang. Sawit hanya tersenyum tanpa menjawab. Ia mendekati Fa yang terpaku di kasurnya, lalu menunduk melihat handphone-nya, mencermati apa yang sedang dibaca Fa.
“Oh, kalau ini di masa depan akan terjadi. Nanti kita akan menghadapi banjir bandang yang tak kunjung ditetapkan sebagai bencana nasional,” ujar Sawit santai. Fa kemudian menimpali, “Tunggu dulu. Ayolah kamu siapa? Siapa pun? Tolong aku. Warga Tambaksari… tolong.”
Sawit hanya tertawa melihat tingkah lelaki yang ia klaim sebagai suaminya di masa depan. Ia kemudian duduk di sebelahnya, menatap tajam Fa dengan wajah serius. Perlahan, ia mulai menceritakan bagaimana masa depan akan terjadi, dan alasan ia bisa hadir di masa kini. Banyak hal ia ungkapkan, sementara Fa tetap diam, masih belum percaya. Perempuan itu lalu sekali lagi memperkenalkan dirinya, “Aku Sawit Swandini Connor, istrimu dari masa depan.”
Editor: Ahmad Muharrik Albirra
